ro2blog.blogspot.com - Dalam beberapa kajian, saya sering kali ditanya perihal syubhat. Dan yg saya termukan banyak sekali yg menyamakan syubhat dgn haram. Artinya kalau ada perkara syubhat, berarti itu perkara haram. Orang yg melakukannya berdosa. Tapi nyatanya tak sesimpel itu.
Wajar saja memang kalau ada yg berpendapat seperti itu, karena memang ada potongan hadits Nabi saw yg menjelaskan itu:
ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام "siapa yg melakukan perkara syubhat berarti ia melakukan perkara haram" (HR Bukhori dan Muslim)
secara tekstual, potongan hadits ni punya makna bahwa yg Syubhat itu sama saja haram, dan yg melakukan Syubhat berarti melakukan yg haram, karena itu pasti berdosa, padahal bukan seperti itu jg maksud haditsnya. Kalau dibuka haditsnya secara lengkap akan ada makna lain.
إنَّ الْحَلالَ بيِّن، وإنَّ الْحَرَامَ بَيِّن. وبينهما أمور مُشْتَبهاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ الناس، فَمَنِ اتَقى الشبهات استبرأ لِدِينهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشبهَاتِ وَقَعَ في الْحَرام، كَالرَّاعي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرْتَعَ فِيهِ. ألا وَإنً لِكلٌ مَلِكٍ حِمىً، ألا وإن حِمَى الله مَحَارِمُهِ. ألا وَإنَّ في الجسَدِ مُضْغَةً إذَا صَلَحت صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُه ألا وَهِي القلب". "Sesungguhnya yg halal itu telah jelas dan yg haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara yg samara-samar yg kebanyakan manusia tak mengetahui (hukum) nya. Barang siapa yg menghindari perkara samara-samar, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barang siapa yg jatuh ke dlm perkara yg samar-samar maka ia telah jatuh ke dlm perkara yg haram. Seperti penggembala yg berada di dekat pagar larangan (milik orang lain) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya.
Ketahuilah bahwa tiap raja memiliki larangan (undang-undang), ingatlah bahwa larangan Allah adlh apa yg diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dlm jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adlh hati."
**Halal, Haram dan Syubhat**
Dalam hadits ini, secara jelas Nabi saw menerangkan bahwa suatu perkara itu ada 3 jenisnya; Halal, Haram dan Syubhat. Yang halal jelas karena memang berdasarkan dalil-dalil yg menunjukkan bahwa perkara ni halal dan sulit dibantah kehalalalnnya, seperti makan, minum, berjalan, tidur dan sebagainya yg memang jelas kehalalannya.
Ada jg perkara yg haram karena memang jelas dalil keharamannya dan sulit sekali bahkan tak bisa dibantah, seperti keharaman mencuri, berzina, riba, minum khomr dan sebagainya yg memang benar-benar jelas keharamannya.
Dan jenis ketiga yaitu Syubhat. Yaitu perkara yg memang masih dlm ranah ketidak jelasan antara halal / haram. Tidak bisa dikatakan halal, karena berbau haram, tapi tak bisa jg disebut haram karena ketidakjelasan / tak ditemukan dalil pengharamannya.
Sampai sini jelas bahwa Syubhat bukanlah perkara haram. Kalau memang itu haram, lalu buat apa Nabi saw membaginya menjadi 3 jenis? Kenapa Nabi saw tak langsung saja mengatakan bahwa "..Syubhat itu bagian dari haram..".
Dan pembagian Nabi saw atas perkara itu menunjukkan bahwa tiap bagian itu tidaklah sama dgn bagian yg lain. Pembagian itu mengindikasikan perbedaan masing-masing bagian.
**Syubhat itu Relatif**
Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ni dlm kitabnya Syarhun-Nawawi Li-Muslim (11/27), beliau mengatakan bahwa perkara syubhat itu ialah perkara yg relatif. Bisa jadi Syubhat untuk seseorang dan bisa jadi jelas, tak Syubhat bagi yg lain.
Dalam teks hadits jg disebutkan [لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ الناس] "Sedangkan di antaranya ada perkara yg samar-samar yang kebanyakan manusia tak mengetahui (hukum) nya...."
Teks hadits tersebut menurut Imam Nawawi mengisyaratkan bahwa perkara syubhat itu untk orang awam yg memang tak mengetahui hukum agama. Sedangkan bagi ulama, perkara syubhat itu nyaris tak ada, karena seorang ulama tahu bagaimana mengambil sebuah kesimpulan hukum pd sesuatu yg baru dgn Qiyas, Istishhab atau sumber hukum lainnya. Jadi perkara yg awalnya Syubhat menjadi tak samar-samar lagi karena kedalaman ilmu agama yg beliau-beliau kuasai.
Ini berarti bahwa perkara Syubhat itu hanya perkara temporer yg bisa saja hilang. Seseorang ketika baru saja berhadapan dgn sebuah perkara yg samar-samar dan ia tak tahu apa hukumnya, ni menjadi Syubhat.
Tapi ketika ia mulai belajar / meminta petunjuk dari seorang ulama atas hukum perkara tersebut, yg awalnya samar-samar menjadi tak rancu lagi dan hilang ke-syubhat-annya karena ia telah mengetahui hukumnya, entah itu jadi yg haram / jadi yg halal. Jadi memang Syubhat itu tak baku dan bisa hilang.
**Yang Melakukan Syubhat = Melakukan Keharaman?**
Sedangkan makna potongan hadits [وَمَنْ وَقَعَ فِي الشبهَاتِ وَقَعَ في الْحَرام]"...siapa yg melakukan perkara syubhat berarti ia melakukan perkara haram..." ni mempunyai 2 kemungkinan (ihtimal) makna sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dlm kitabnya Syarhun-Nawawi Li-Muslim (11/29);
Makna pertama: ia melakukan yg Syubhat itu secara terus menerus karena menyepelekan dan meremehkan yg sampai akhirnya ia melakukan yg haram tanpa ia sadari karena terlalu meremehkan.
Atau bisa jadi artinya di Makna kedua ini, yaitu; ia terbiasa menggampangkan sesuatu yg Syuhbat. Kalau sudah terbiasa melakukan yg Syubhat, ia akan terus melakukan Syubha-Syubhat yang lain yg lebih besar lagi.
Dan sifatnya yg menggampangkan ini, membuat setan lebih mudah untk menggodanya dan akhirnya ia jg akan terbiasa melakukan yg haram tanpa ada rasa bersalah dan malu. Karena sudah berani melakukan yg Syubhat, yang harampun menjadi biasa dan tak risih lagi untk melakukannya.
Jadi syubhatnya itu menjadi jembatan ia untk menuju yg haram. Sebagaimana yg banyak dikatakan oleh para ahli hikmah, bahwa maksiat adlh jembatan kekufuran. Banyaknya maksiat bukan tak mungkin bisa membuat ia menjadi kafir. Artinya entengnya berbuat maksiat, sampai ia tak merasa risih untk melakukan sesuatu yg nyatanya mengeluarkannya dari iman.
**Imam Shan'aniy di Subulusalam**
Imam Shon'aniy dlm kitabnya Subulus-Salam (4/171), menjelaskan makna potongan hadits ni juga. Beliau mengatakan bahwa orang yg melakukan Syubhat biasanya sangat dekat dgn keharaman. Ibaratnya Syubhat itu jembatan menuju perkara yg haram, sebagaimana yg dijelaskan dgn teks hadits selanjutnya.
"Seperti penggembala yg berada di dekat pagar larangan (milik orang lain) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa tiap raja memiliki larangan (undang-undang), ingatlah bahwa larangan Allah adlh apa yg diharamkan-Nya."
Logikanya, kalau sesorang berani melakukan yg Syubhat, bukan tak mungkin dan sangat mungkin sekali ia berani melakukan yg haram. Karena bagaimanapun setan terus saja menggoda manusia dan membuatnya meremehkan sesuatu yg haram sebagaimana ia meremehkan sesuatu yg Syubhat.
**Meninggalkan Syubhat Melembutkan Hati**
Sebenarnya perkara Syubhat ini lebih dekat ke perkara hati sebagai benteng iman dlm melakukan segala hal, seberapa berani kah diri ni melakukan sesuatu yg memang meragukan kehalalannya walaupun tak ada dalil yg jelas atas keharamannya. Ujung-ujungnya melatih diri untk lebih berhati-hati dlm bertindak terlebih pd masalah syariah.
Di ujung hadits ni dijelaskan bagaimana kerasnya hati kita jika terus menerus berani melakukan perkara yg samar-samar hukumnya. Dengan terus menerus menahan diri bersikap Waro' dan tak menenggelamkan diri ke dlm sesuatu yg masih sangat rancu, itu semakin memupuk kekuatan iman dlm diri.
Kita bukan tak tahu bagaimana ulama-ulama salaf kita sangat takut sekali dgn perkara yg Syubhat. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Imam Abu Hanifah menolak untk memakan daging selama beberapa tahun karena tahu kambing tetangganya hilang. Beliau khawatir kalau makan daging itu daging dari kambing tetangganya yg hilang.
Wallahu A'lam
Wajar saja memang kalau ada yg berpendapat seperti itu, karena memang ada potongan hadits Nabi saw yg menjelaskan itu:
ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام "siapa yg melakukan perkara syubhat berarti ia melakukan perkara haram" (HR Bukhori dan Muslim)
secara tekstual, potongan hadits ni punya makna bahwa yg Syubhat itu sama saja haram, dan yg melakukan Syubhat berarti melakukan yg haram, karena itu pasti berdosa, padahal bukan seperti itu jg maksud haditsnya. Kalau dibuka haditsnya secara lengkap akan ada makna lain.
إنَّ الْحَلالَ بيِّن، وإنَّ الْحَرَامَ بَيِّن. وبينهما أمور مُشْتَبهاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ الناس، فَمَنِ اتَقى الشبهات استبرأ لِدِينهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشبهَاتِ وَقَعَ في الْحَرام، كَالرَّاعي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أنْ يَرْتَعَ فِيهِ. ألا وَإنً لِكلٌ مَلِكٍ حِمىً، ألا وإن حِمَى الله مَحَارِمُهِ. ألا وَإنَّ في الجسَدِ مُضْغَةً إذَا صَلَحت صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُه ألا وَهِي القلب". "Sesungguhnya yg halal itu telah jelas dan yg haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara yg samara-samar yg kebanyakan manusia tak mengetahui (hukum) nya. Barang siapa yg menghindari perkara samara-samar, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barang siapa yg jatuh ke dlm perkara yg samar-samar maka ia telah jatuh ke dlm perkara yg haram. Seperti penggembala yg berada di dekat pagar larangan (milik orang lain) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya.
Ketahuilah bahwa tiap raja memiliki larangan (undang-undang), ingatlah bahwa larangan Allah adlh apa yg diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dlm jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adlh hati."
**Halal, Haram dan Syubhat**
Dalam hadits ini, secara jelas Nabi saw menerangkan bahwa suatu perkara itu ada 3 jenisnya; Halal, Haram dan Syubhat. Yang halal jelas karena memang berdasarkan dalil-dalil yg menunjukkan bahwa perkara ni halal dan sulit dibantah kehalalalnnya, seperti makan, minum, berjalan, tidur dan sebagainya yg memang jelas kehalalannya.
Ada jg perkara yg haram karena memang jelas dalil keharamannya dan sulit sekali bahkan tak bisa dibantah, seperti keharaman mencuri, berzina, riba, minum khomr dan sebagainya yg memang benar-benar jelas keharamannya.
Dan jenis ketiga yaitu Syubhat. Yaitu perkara yg memang masih dlm ranah ketidak jelasan antara halal / haram. Tidak bisa dikatakan halal, karena berbau haram, tapi tak bisa jg disebut haram karena ketidakjelasan / tak ditemukan dalil pengharamannya.
Sampai sini jelas bahwa Syubhat bukanlah perkara haram. Kalau memang itu haram, lalu buat apa Nabi saw membaginya menjadi 3 jenis? Kenapa Nabi saw tak langsung saja mengatakan bahwa "..Syubhat itu bagian dari haram..".
Dan pembagian Nabi saw atas perkara itu menunjukkan bahwa tiap bagian itu tidaklah sama dgn bagian yg lain. Pembagian itu mengindikasikan perbedaan masing-masing bagian.
**Syubhat itu Relatif**
Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ni dlm kitabnya Syarhun-Nawawi Li-Muslim (11/27), beliau mengatakan bahwa perkara syubhat itu ialah perkara yg relatif. Bisa jadi Syubhat untuk seseorang dan bisa jadi jelas, tak Syubhat bagi yg lain.
Dalam teks hadits jg disebutkan [لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ الناس] "Sedangkan di antaranya ada perkara yg samar-samar yang kebanyakan manusia tak mengetahui (hukum) nya...."
Teks hadits tersebut menurut Imam Nawawi mengisyaratkan bahwa perkara syubhat itu untk orang awam yg memang tak mengetahui hukum agama. Sedangkan bagi ulama, perkara syubhat itu nyaris tak ada, karena seorang ulama tahu bagaimana mengambil sebuah kesimpulan hukum pd sesuatu yg baru dgn Qiyas, Istishhab atau sumber hukum lainnya. Jadi perkara yg awalnya Syubhat menjadi tak samar-samar lagi karena kedalaman ilmu agama yg beliau-beliau kuasai.
Ini berarti bahwa perkara Syubhat itu hanya perkara temporer yg bisa saja hilang. Seseorang ketika baru saja berhadapan dgn sebuah perkara yg samar-samar dan ia tak tahu apa hukumnya, ni menjadi Syubhat.
Tapi ketika ia mulai belajar / meminta petunjuk dari seorang ulama atas hukum perkara tersebut, yg awalnya samar-samar menjadi tak rancu lagi dan hilang ke-syubhat-annya karena ia telah mengetahui hukumnya, entah itu jadi yg haram / jadi yg halal. Jadi memang Syubhat itu tak baku dan bisa hilang.
**Yang Melakukan Syubhat = Melakukan Keharaman?**
Sedangkan makna potongan hadits [وَمَنْ وَقَعَ فِي الشبهَاتِ وَقَعَ في الْحَرام]"...siapa yg melakukan perkara syubhat berarti ia melakukan perkara haram..." ni mempunyai 2 kemungkinan (ihtimal) makna sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dlm kitabnya Syarhun-Nawawi Li-Muslim (11/29);
Makna pertama: ia melakukan yg Syubhat itu secara terus menerus karena menyepelekan dan meremehkan yg sampai akhirnya ia melakukan yg haram tanpa ia sadari karena terlalu meremehkan.
Atau bisa jadi artinya di Makna kedua ini, yaitu; ia terbiasa menggampangkan sesuatu yg Syuhbat. Kalau sudah terbiasa melakukan yg Syubhat, ia akan terus melakukan Syubha-Syubhat yang lain yg lebih besar lagi.
Dan sifatnya yg menggampangkan ini, membuat setan lebih mudah untk menggodanya dan akhirnya ia jg akan terbiasa melakukan yg haram tanpa ada rasa bersalah dan malu. Karena sudah berani melakukan yg Syubhat, yang harampun menjadi biasa dan tak risih lagi untk melakukannya.
Jadi syubhatnya itu menjadi jembatan ia untk menuju yg haram. Sebagaimana yg banyak dikatakan oleh para ahli hikmah, bahwa maksiat adlh jembatan kekufuran. Banyaknya maksiat bukan tak mungkin bisa membuat ia menjadi kafir. Artinya entengnya berbuat maksiat, sampai ia tak merasa risih untk melakukan sesuatu yg nyatanya mengeluarkannya dari iman.
**Imam Shan'aniy di Subulusalam**
Imam Shon'aniy dlm kitabnya Subulus-Salam (4/171), menjelaskan makna potongan hadits ni juga. Beliau mengatakan bahwa orang yg melakukan Syubhat biasanya sangat dekat dgn keharaman. Ibaratnya Syubhat itu jembatan menuju perkara yg haram, sebagaimana yg dijelaskan dgn teks hadits selanjutnya.
"Seperti penggembala yg berada di dekat pagar larangan (milik orang lain) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa tiap raja memiliki larangan (undang-undang), ingatlah bahwa larangan Allah adlh apa yg diharamkan-Nya."
Logikanya, kalau sesorang berani melakukan yg Syubhat, bukan tak mungkin dan sangat mungkin sekali ia berani melakukan yg haram. Karena bagaimanapun setan terus saja menggoda manusia dan membuatnya meremehkan sesuatu yg haram sebagaimana ia meremehkan sesuatu yg Syubhat.
**Meninggalkan Syubhat Melembutkan Hati**
Sebenarnya perkara Syubhat ini lebih dekat ke perkara hati sebagai benteng iman dlm melakukan segala hal, seberapa berani kah diri ni melakukan sesuatu yg memang meragukan kehalalannya walaupun tak ada dalil yg jelas atas keharamannya. Ujung-ujungnya melatih diri untk lebih berhati-hati dlm bertindak terlebih pd masalah syariah.
Di ujung hadits ni dijelaskan bagaimana kerasnya hati kita jika terus menerus berani melakukan perkara yg samar-samar hukumnya. Dengan terus menerus menahan diri bersikap Waro' dan tak menenggelamkan diri ke dlm sesuatu yg masih sangat rancu, itu semakin memupuk kekuatan iman dlm diri.
Kita bukan tak tahu bagaimana ulama-ulama salaf kita sangat takut sekali dgn perkara yg Syubhat. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Imam Abu Hanifah menolak untk memakan daging selama beberapa tahun karena tahu kambing tetangganya hilang. Beliau khawatir kalau makan daging itu daging dari kambing tetangganya yg hilang.
Wallahu A'lam
other source : http://fb.com, http://lintas.me, http://zarkasih20.blogspot.com
0 Response to "Syubhat = Haram, Benarkah?"
Post a Comment