ro2blog.blogspot.com - Ketika menyajiikan beberap pandangan yg berbeda dari kalangan madzhab-madzhab fiqih yg ada, satu pertanyaan yg sering sekali muncul dari para pendengar / pembaca ialah: "lalu yg benar yg mana?".
Jawaban yg sering saya sampaikan adalah: "semuanya benar! Sesuai dari sisi mana kita melihatnya." Tentu saja jawaban seperti ni jelas tak memuaskan pihak penanya. Tapi memang jawaban yg paling fair ya seperti itu.
Jawabannya tentu semuanya benar, dan ni adlh jawaban yg benar untk pertanyaan seperti itu. Ya! Semuanya benar menurut empunya pandangan tersebut. Pandangan kalangan syafi'iyyah adlh yg benar menurut ulama madzhab tersebut. Dan begitu jg bagi ulama madzhab lain.
Ketika mengatakan bahwa pendapat yg benar adlh pendapat A, itu berarti kita menyalahkan pendapat B, C, / mungkin jg pendapat D. loh bagaimana bisa seorang yg dgn kapasitas keilmuan jauh di bawah para ulama tersebut menyalahkan para sang Imam? Tentu tak bisa seperti itu.
Yang harus diketahui bahwa dlm masalah fiqih, terlebih kekita dalil yg ada itu bersifat multi tafsir / bersayap yg kemudian menjadikannya zdonniy al-Dilalah (Punya beberapa kemungkinan) bukan qath'iy al-Dilalah (arti/petunjuk pasti yg tunggal), maka perbedaan sudah tak bisa dihindari lagi, karena memang ada peluang di situ.
Yang akhirnya membuat para imam Mujtahid itu ber-ijtihad, dan hasilnya pun tak bisa kita harapkan sama. Karena itu mujtahid A benar dgn ijtihadnya, karena memang analisis-nya menuntun kepada pendapat A. begitu jg pendapat B. dari hasil ijtihad itulah kemudian kebenaran menjadi relative dlm masa'il fiqhiyah ini.
Kebenaran itu Satu / Berbilang?
Mungkin akan muncul pertanyaan selanjutnya, "kalau begitu kebenaran itu ganda, tak tunggal?". Ini pertanyaan yg memang sejak dulu menjadi bahan diskusi oleh para ulama Ushul-Fiqh dlm kitab-kitab mereka.
Ulama ahl Sunnah wal-Jama'ah sepakat bahwa kebenaran itu tunggal tak berganda [wahid wa Laa Yata'adad]. Tapi pendapat ni diselisih oleh kalangan al-Mu'tazilah yang mengatakan bahwa kebenaran itu sifatnya berganda sesuai siapa yg meneliti kebenaran tersebut. Jadi kebenaran -menurut mu'tazilah- sifatnya standar tergantung kepada standar kebenaran siapa yg memakainya.
Pembahasan ni muncul terkait dgn usaha seorang mujtahid dlm ijtihadnya, "apakah semua mujtahid itu benar?", kalau benar berarti kebenaran itu jumlahnya banyak padahal dlm satu masalah. ni pendapat yg dipegang mu'tazilah dan jg beberapa kalangan Mutakalimun (ahli Kalam) dari kalangan ahl Sunnah wal-Jama'ah diantaranya ialah Ubaidillah bin al-Hasan al-'Anbari (168 H).
Sedangkan jumhur Ahl sunnah wal-Jama'ah mengatakan bahwa kebenaran itu hanya satu di antara para mujtahid tersebut. Artinya dlm ranah ijtihad yg digelar oleh para mujtahid tersebut, tak mungkin semuanya benar, akan tetapi yg benar itu hanya ada satu di antara merkea. karena tak mungkin kebenaran itu berbilang, ia hanya satu. Ini yg banyak dijelaskan oleh para ulama ushul termasuk Imam Ibnu Qudamah dlm kitabnya Raudha al-Nadzir (2/351)
Pendapat ni berdasarkan dalil, إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"jika seorang hakim berijtihad kemudian ia benar dlm ijtihadnya, maka ia mendapatkan 2 pahala. Sedangkan mereka yg salah, mereka dpt satu pahala (ijtihad)". (muttafaq 'alaiyh)
Secara eksplisit hadits ni menjelaskan bahwa mujtahid pun bisa salah, tapi kesalahan yg dilakukan oleh mujtahid tak membuatnya berdosa, justru mereka mendapat pahala tersebut. Ini adlh pendapat jumhur.
Kebenaran Tidak Berbilang, Tapi Tidak Tertentu
Kemudian apa korelasinya, di awal tertulis bahwa kebenaran dlm masail fiqhiyah itu relative, tapi jumhur justru bilang kebenaran itu hanya satu, tak pd semua mujtahid. Bagaimana sinkronisasi masalah ini?
Ya. Kebenaran -dalam satu masalah- itu hanya satu, tak mungkin berbilang, karena secara akal pun itu tak bisa diterima. Bagaimana bisa satu masalah punya hukum lebih dari satu, karena mujtahid A mengatakan itu haram sedang mujrahid B mengatakan itu Halal.
Jadi jawabannya adalah, kebenaran itu hanya satu tak berbilang, hanya saja kebenaran itu tak tertentu [Laa Yata'yyan] di ijtihad siapa ia berada? Ini yg dijelaskan oleh Imam al-Syafi'i sebagaimana dikutip oleh Imam al-Zarkasyi dlm kitabnya al-Bahr al-Muhith (8/283):
فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْمُصِيبَ مِنْهُمْ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ، وَأَنَّ جَمِيعَهُمْ مُخْطِئٌ إلَّا ذَلِكَ الْوَاحِدُ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَغَيْرُهُ. "menurut Imam al-Syafi'i yg benar itu hanya satu dari sekian banyak mujtahid akan tetapi tak tertentu (di ijtihas siapa), dan selain dari yg satu itu semuanya salah. Pendapat ni jg dikatakan oleh Imam Malik jg selainnya."
Jadi jelas bahwa kebenaran itu hanya satu, tak mungkin berbilang. Hanya saja kebenaran yg satu itu tak bisa terlihat, dan tak tertentu pd ijtihad siapa. Karena memang seorang mujtahid itu tugasnya berijtihad, nah dari masing-masing ijtihad tersebut tak bisa ditentukan kebenaran yg Allah inginkan itu ada di ijtihad siapa? Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad sebagai orang yg Allah swt berikan pemahaman konprehensif terhadap al-Qur'an dan sunnah.
Ini jg sejalan dgn substansi perkataan Imam Abu Hanifah, yg dikutip oleh Imam al-Bazdawi dlm kitabnya Kanzul-Wushul ila Ma'rifatil-Ushul (278):
كل مجتهد مصيب و الحق عند الله تعالى واحد "semua mujtahid itu benar akan tetapi kebanaran di sisi Allah itu hanya satu".
Dijelaskan oleh Imam al-Bazdawi bahwa maksud perkataan imam Abu Hanifah itu sama seperti substansi yg dikatakan oleh Imam al-Syafi'i; kebenaran hanya satu yaitu di sisi Allah swt dan di kalangan mujtahid itu tak tertentu di ijtihad siapa kebenaran itu ada. Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad.
Sedangkan perkataannya semua mujtahid benar, maksudnya ialah mereka tak berdosa jika hasil ijtihadnya itu salah, karena memang yg diminta ialah menjalankan tugas ijtihad, dgn begitu ia mendapat pahala atas ijtihadnya tersebut.
Jadi kebenaran itu satu hanya saja tak tertentu, / dlm istilah yg ulama pakai adlh [الحق لا يتعدد ولا يتعين] "al-Haqq Laa Yata'addadu wa Laa Yata'ayyanu".
Kalau Benar itu Pasti dari Allah!
Nah, karena memang para mujtahid itu tak tahu di mana kebenaran itu berada, apakah pd ijtihadnya / pd ijtihad selainnya, kebiasaan para mujtahid tersebut ialah menyatakan bahwa ijtihadnya itu adlh apa yg telah mereka usahakan dan kalau benar itu adlh dari Allah. Dan kalau salah itu adlh dari dirinya sendiri.
Kalimat yg masyhur seperti ini: "ini adlh pendapatku, kalau ni benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini."
Sebagaimana dicontohkan oleh Amirul-Mukminin Sayyidina Umar bin Khaththab, ketika katib (sekretaris) beliau menuliskan fatwa yg beliau ijtihadkan bahwa itu adlh perkara yg Allah swt perlihatkan untk Umar, tapi beliau malah marah lalu mengatakan:
لاَ بَلْ اكْتُبْ هَذَا مَا رَأَى عُمَرُ فَإِنْ كَانَ صَوَابًا فَمِنَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ خَطَأً فَمِنْ عُمَرَ"tidak begitu! akan tetapi tulislah 'ini adlh pendapat Umar, kalau ni benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari Umar sendiri'." (Sunan al-Kubra lil-Baihaqi, Kitab Adab al-Qadha' no. 20346 jil. 10 hal. 197)
Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi sangat tawadhu' sekali. Perkataan sahabat yg seperti ni banyak ditulis oleh ulama dlm kitab-kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah (728 H), dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu' al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
Jawaban yg sering saya sampaikan adalah: "semuanya benar! Sesuai dari sisi mana kita melihatnya." Tentu saja jawaban seperti ni jelas tak memuaskan pihak penanya. Tapi memang jawaban yg paling fair ya seperti itu.
Jawabannya tentu semuanya benar, dan ni adlh jawaban yg benar untk pertanyaan seperti itu. Ya! Semuanya benar menurut empunya pandangan tersebut. Pandangan kalangan syafi'iyyah adlh yg benar menurut ulama madzhab tersebut. Dan begitu jg bagi ulama madzhab lain.
Ketika mengatakan bahwa pendapat yg benar adlh pendapat A, itu berarti kita menyalahkan pendapat B, C, / mungkin jg pendapat D. loh bagaimana bisa seorang yg dgn kapasitas keilmuan jauh di bawah para ulama tersebut menyalahkan para sang Imam? Tentu tak bisa seperti itu.
Yang harus diketahui bahwa dlm masalah fiqih, terlebih kekita dalil yg ada itu bersifat multi tafsir / bersayap yg kemudian menjadikannya zdonniy al-Dilalah (Punya beberapa kemungkinan) bukan qath'iy al-Dilalah (arti/petunjuk pasti yg tunggal), maka perbedaan sudah tak bisa dihindari lagi, karena memang ada peluang di situ.
Yang akhirnya membuat para imam Mujtahid itu ber-ijtihad, dan hasilnya pun tak bisa kita harapkan sama. Karena itu mujtahid A benar dgn ijtihadnya, karena memang analisis-nya menuntun kepada pendapat A. begitu jg pendapat B. dari hasil ijtihad itulah kemudian kebenaran menjadi relative dlm masa'il fiqhiyah ini.
Kebenaran itu Satu / Berbilang?
Mungkin akan muncul pertanyaan selanjutnya, "kalau begitu kebenaran itu ganda, tak tunggal?". Ini pertanyaan yg memang sejak dulu menjadi bahan diskusi oleh para ulama Ushul-Fiqh dlm kitab-kitab mereka.
Ulama ahl Sunnah wal-Jama'ah sepakat bahwa kebenaran itu tunggal tak berganda [wahid wa Laa Yata'adad]. Tapi pendapat ni diselisih oleh kalangan al-Mu'tazilah yang mengatakan bahwa kebenaran itu sifatnya berganda sesuai siapa yg meneliti kebenaran tersebut. Jadi kebenaran -menurut mu'tazilah- sifatnya standar tergantung kepada standar kebenaran siapa yg memakainya.
Pembahasan ni muncul terkait dgn usaha seorang mujtahid dlm ijtihadnya, "apakah semua mujtahid itu benar?", kalau benar berarti kebenaran itu jumlahnya banyak padahal dlm satu masalah. ni pendapat yg dipegang mu'tazilah dan jg beberapa kalangan Mutakalimun (ahli Kalam) dari kalangan ahl Sunnah wal-Jama'ah diantaranya ialah Ubaidillah bin al-Hasan al-'Anbari (168 H).
Sedangkan jumhur Ahl sunnah wal-Jama'ah mengatakan bahwa kebenaran itu hanya satu di antara para mujtahid tersebut. Artinya dlm ranah ijtihad yg digelar oleh para mujtahid tersebut, tak mungkin semuanya benar, akan tetapi yg benar itu hanya ada satu di antara merkea. karena tak mungkin kebenaran itu berbilang, ia hanya satu. Ini yg banyak dijelaskan oleh para ulama ushul termasuk Imam Ibnu Qudamah dlm kitabnya Raudha al-Nadzir (2/351)
Pendapat ni berdasarkan dalil, إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"jika seorang hakim berijtihad kemudian ia benar dlm ijtihadnya, maka ia mendapatkan 2 pahala. Sedangkan mereka yg salah, mereka dpt satu pahala (ijtihad)". (muttafaq 'alaiyh)
Secara eksplisit hadits ni menjelaskan bahwa mujtahid pun bisa salah, tapi kesalahan yg dilakukan oleh mujtahid tak membuatnya berdosa, justru mereka mendapat pahala tersebut. Ini adlh pendapat jumhur.
Kebenaran Tidak Berbilang, Tapi Tidak Tertentu
Kemudian apa korelasinya, di awal tertulis bahwa kebenaran dlm masail fiqhiyah itu relative, tapi jumhur justru bilang kebenaran itu hanya satu, tak pd semua mujtahid. Bagaimana sinkronisasi masalah ini?
Ya. Kebenaran -dalam satu masalah- itu hanya satu, tak mungkin berbilang, karena secara akal pun itu tak bisa diterima. Bagaimana bisa satu masalah punya hukum lebih dari satu, karena mujtahid A mengatakan itu haram sedang mujrahid B mengatakan itu Halal.
Jadi jawabannya adalah, kebenaran itu hanya satu tak berbilang, hanya saja kebenaran itu tak tertentu [Laa Yata'yyan] di ijtihad siapa ia berada? Ini yg dijelaskan oleh Imam al-Syafi'i sebagaimana dikutip oleh Imam al-Zarkasyi dlm kitabnya al-Bahr al-Muhith (8/283):
فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْمُصِيبَ مِنْهُمْ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ، وَأَنَّ جَمِيعَهُمْ مُخْطِئٌ إلَّا ذَلِكَ الْوَاحِدُ، وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَغَيْرُهُ. "menurut Imam al-Syafi'i yg benar itu hanya satu dari sekian banyak mujtahid akan tetapi tak tertentu (di ijtihas siapa), dan selain dari yg satu itu semuanya salah. Pendapat ni jg dikatakan oleh Imam Malik jg selainnya."
Jadi jelas bahwa kebenaran itu hanya satu, tak mungkin berbilang. Hanya saja kebenaran yg satu itu tak bisa terlihat, dan tak tertentu pd ijtihad siapa. Karena memang seorang mujtahid itu tugasnya berijtihad, nah dari masing-masing ijtihad tersebut tak bisa ditentukan kebenaran yg Allah inginkan itu ada di ijtihad siapa? Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad sebagai orang yg Allah swt berikan pemahaman konprehensif terhadap al-Qur'an dan sunnah.
Ini jg sejalan dgn substansi perkataan Imam Abu Hanifah, yg dikutip oleh Imam al-Bazdawi dlm kitabnya Kanzul-Wushul ila Ma'rifatil-Ushul (278):
كل مجتهد مصيب و الحق عند الله تعالى واحد "semua mujtahid itu benar akan tetapi kebanaran di sisi Allah itu hanya satu".
Dijelaskan oleh Imam al-Bazdawi bahwa maksud perkataan imam Abu Hanifah itu sama seperti substansi yg dikatakan oleh Imam al-Syafi'i; kebenaran hanya satu yaitu di sisi Allah swt dan di kalangan mujtahid itu tak tertentu di ijtihad siapa kebenaran itu ada. Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad.
Sedangkan perkataannya semua mujtahid benar, maksudnya ialah mereka tak berdosa jika hasil ijtihadnya itu salah, karena memang yg diminta ialah menjalankan tugas ijtihad, dgn begitu ia mendapat pahala atas ijtihadnya tersebut.
Jadi kebenaran itu satu hanya saja tak tertentu, / dlm istilah yg ulama pakai adlh [الحق لا يتعدد ولا يتعين] "al-Haqq Laa Yata'addadu wa Laa Yata'ayyanu".
Kalau Benar itu Pasti dari Allah!
Nah, karena memang para mujtahid itu tak tahu di mana kebenaran itu berada, apakah pd ijtihadnya / pd ijtihad selainnya, kebiasaan para mujtahid tersebut ialah menyatakan bahwa ijtihadnya itu adlh apa yg telah mereka usahakan dan kalau benar itu adlh dari Allah. Dan kalau salah itu adlh dari dirinya sendiri.
Kalimat yg masyhur seperti ini: "ini adlh pendapatku, kalau ni benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini."
Sebagaimana dicontohkan oleh Amirul-Mukminin Sayyidina Umar bin Khaththab, ketika katib (sekretaris) beliau menuliskan fatwa yg beliau ijtihadkan bahwa itu adlh perkara yg Allah swt perlihatkan untk Umar, tapi beliau malah marah lalu mengatakan:
لاَ بَلْ اكْتُبْ هَذَا مَا رَأَى عُمَرُ فَإِنْ كَانَ صَوَابًا فَمِنَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ خَطَأً فَمِنْ عُمَرَ"tidak begitu! akan tetapi tulislah 'ini adlh pendapat Umar, kalau ni benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari Umar sendiri'." (Sunan al-Kubra lil-Baihaqi, Kitab Adab al-Qadha' no. 20346 jil. 10 hal. 197)
Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi sangat tawadhu' sekali. Perkataan sahabat yg seperti ni banyak ditulis oleh ulama dlm kitab-kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah (728 H), dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu' al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وقد قال أبو بكر وابن مسعود وغيرهما من الصحابة فيما يفتون فيه باجتهادهم: إن يكن صوابا فمن الله وإن يكن خطأ فهو مني ومن الشيطان والله ورسوله بريئان منه "dan Abu Bakr serta Ibnu Mas'ud serta sahabat lainnya telah berkata dlm tiap fatwa yg merekaijtihadkan: ni adlh pendapatku, kalau ni benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini."
Jadi, tak langsung mengatakan: "ini yg benar sesuai quran dan sunnah!", Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yg salah kepada Allah dan Nabi saw.
Wallahu A'lam
Begitu jg apa yg kita temukan dlm kitab-kitab fiqih ulama dari kalangan madzahib Fiqih. Dan yg paling sering dikatakan / ditulis ialah kalimat Wallahu a'lam dalam tiap menutup baba tau pembahasan suatu hukum masalah dlm kitab mereka.
Karena memang kalimat wallahu a'lam itu adlh bentuk penyerahan kebanarana kepada Allah swt dan apa yg mereka ijtihadkan itu semua adlh usaha mereka, kalau benar itu dari Allah dan kalau salah itu adlh hasil kecerobohan mereka sendiri.
Jadi kalimat wallahu a'lam adlh bukan hanya sebagai penghias akhir tulisan, akan tetapi di dalamnya terdapat nilai luhur ketawdhuan seorang ulama yg tak sombong akan kecerdasan yg dimilikinya. Sedemikain cerdasnya beliau, beliau masih tetap mengakui kekurangannya yg bisa saja salah, karena itu beliau serahkan itu semua kepada Allah swt.
Karena memang tak ada ilmu yg mereka miliki kecuali itu milik Allah swt.
Wallahu a'lam
Jadi, tak langsung mengatakan: "ini yg benar sesuai quran dan sunnah!", Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yg salah kepada Allah dan Nabi saw.
Wallahu A'lam
Begitu jg apa yg kita temukan dlm kitab-kitab fiqih ulama dari kalangan madzahib Fiqih. Dan yg paling sering dikatakan / ditulis ialah kalimat Wallahu a'lam dalam tiap menutup baba tau pembahasan suatu hukum masalah dlm kitab mereka.
Karena memang kalimat wallahu a'lam itu adlh bentuk penyerahan kebanarana kepada Allah swt dan apa yg mereka ijtihadkan itu semua adlh usaha mereka, kalau benar itu dari Allah dan kalau salah itu adlh hasil kecerobohan mereka sendiri.
Jadi kalimat wallahu a'lam adlh bukan hanya sebagai penghias akhir tulisan, akan tetapi di dalamnya terdapat nilai luhur ketawdhuan seorang ulama yg tak sombong akan kecerdasan yg dimilikinya. Sedemikain cerdasnya beliau, beliau masih tetap mengakui kekurangannya yg bisa saja salah, karena itu beliau serahkan itu semua kepada Allah swt.
Karena memang tak ada ilmu yg mereka miliki kecuali itu milik Allah swt.
Wallahu a'lam
other source : http://merdeka.com, http://zarkasih20.blogspot.com, http://hipwee.com
0 Response to "Relativisme Kebenaran dalam Pandangan Madzhab Fiqih"
Post a Comment