This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Pertanyaan] Demokrasi: Sebuah Perspektif

Demokrasi: Sebuah PerspektifOleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal

Demokrasi selalu menjadi topik bahasan yg menarik. Sebagian orang malah bersikap seolah-olah topik di dunia cuma satu ni saja. Ada yg bilang, demokrasi itu buatan Barat. Menerimanya berarti membebek pd Barat. Tapi coba tebak? Nama ‘resmi’ Korea Utara adlh The Democratic People’s Republic of Korea. Korea utara kok demokratis? Katanya demokrasi itu membebek Barat? Hmmm… kayaknya ada yg salah ya. Hal ni menunjukkan bahwa penggunaan istilah “demokrasi“ bisa dibilang cukup ‘lentur’. Artinya, orang bisa saja gunakan istilah yg sama, tapi maknanya lain-lain. A.S dan negara-negara Barat jg mengaku menjalankan demokrasi. Apa benar?
Konon, dlm demokrasi, suara rakyat adlh suara Tuhan. Apa iya? Prinsip ni jadi senjata bagi para penentang demokrasi di antara umat Muslim. Padahal kenyataannya tak demikian. Suara rakyat adlh suara Tuhan, misalnya, tak diterapkan di Mesir ketika rezim sekuler berkuasa. Rakyatnya ingin bela Palestina, tapi rezim sekuler menutup pintu perbatasan. Jadi, tak tepat jg bila demokrasi diidentikkan dgn ‘suara rakyat adlh suara Tuhan.’ Apalagi, pelaksanaannya berbeda-beda. Memang demokrasi tak terkendali bisa berujung liberalisme. Tapi tak semua demokrasi begitu.
Sekarang kita beralih ke Indonesia. Mengikuti pemikiran Buya Hamka, kita harus menengok dulu dasar negara kita. Apa sila pertama? ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Itulah akar tunggang Pancasila. Semua mengakar ke sana. ‘Kemanusiaan’ yg dibicarakan di Sila kedua bukan humanisme versi sekuler, tapi kemanusiaan yg berdasarkan ketuhanan. Demikian jg demokrasi yg diterapkan di Indonesia (semestinya) adlh sebuah sistem berlandaskan ketuhanan. Jadi, MPR/DPR (lagi-lagi semestinya) tak berhak menentukan hal-hal yg melanggar agama. Idealnya begitu. Meski begitu, di Indonesia masih banyak ide-ide sekuler-liberal yg tak bisa diterima padahal demokrasi ditegakkan.
Lalu, mengapa kenyataannya tak ideal? Ya, itulah cerminan bangsa kita. Jangan marah-marah saja kalau sistem di negeri ni tak Islami. Itu tandanya, masyarakat kita masih ‘buta syariat’. Orang buta jangan dimarahi karena kebutaannya. Tapi bantu ia agar bisa melihat. Carikan donor mata, kalau perlu. Apa masalah selesai dgn mengutuki sistem? Tentu tidak. Sistem sebaik apa pun perlu perbaikan. Sementara sistem belum Islami, apa yg bisa diperbuat? Masak sih tak ada yg bisa diperbuat selain membicarakan kecacatan sistem?
Saya ingat Ustad Adian Husaini pernah memberi retorika yg cerdas. “Kalau tanah kita diserobot orang, apa kita tunggu syariat ditegakkan, / kita tempuh jalur hukum sekarang juga?” Tentu saja kita tak diam. Lawan dong. Sistem belum islami, bukan berarti tak bisa berbuat apa-apa. Sistem belum Islami karena rakyat belum Islami. Maka, proyek jangka panjangnya adlh pendidikan. Sudah berapa banyak sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi yg Islami didirikan? Itu cerminan kesiapan umat. Banyak sekolah Islam tapi guru dan siswanya masih jauh dari Islami. Perguruan tinggi apalagi! Kalau sudah Islami akhlaqnya, apa prestasinya sudah sehebat sekolah-sekolah ‘sekuler’? Ini pekerjaan lainnya yg harus dibenahi.
Islam tak bisa ditegakkan hanya dgn belajar nahwu, sharaf, fiqih, syariat dan lain-lain. Islam tak mengenal dikotomi ilmu, tapi kategorisasi. Ada ilmu yg fardhu ‘ain, ada yg fardhu kifayah. Di antara umat Muslim harus ada yg memiliki spesialisasi-spesialisasi ilmu yg beragam. Ini wajib. Kalau tak ada yg jadi dokter, misalnya, maka umat Muslim bersalah. Semuanya kebagian dosa. Jadi, kita harus evaluasi gerakan dakwah kita juga. Apakah gerakan-gerakan dakwah sudah melahirkan kaum spesialis? Kaum generalis jg perlu. Tapi kaum spesialis jangan dilupakan. Umat Muslim tak bisa menang kalau mereka tak ada.
Misalnya, di media Islam dihajar terus. Tapi media Islam kemana? Sudah jumlahnya sedikit, yg ada pun kualitasnya memprihatinkan. Wartawannya gak oke, redaktur payah, desain seadanya, dan lain-lain. Kalau begitu kondisinya, kapan kita mau meruntuhkan dominasi TIME, CNN, dan semacamnya?
Itulah gambaran betapa kompleksnya permasalahan umat. Maka, jangan disederhanakan secara berlebihan. Saat mengisi kajian di Universitas Institut Teknologi Sepuluh November belum lama ini, saya mendapat sebuah pertanyaan menarik. Seorang ikhwah bertanya, “Bukankah Islam liberal ni lahir karena demokrasi?” Menurutnya, demokrasi-lah yg memberikan hak kebebasan berpendapat sehingga orang-orang sesat pun bebas bicara. Mari kita gunakan perspektif yg lebih menguntungkan bagi kita semua. Memang benar, demokrasi membuka kebebasan berpendapat. Dan kebebasan ni ada potensi buruknya. Tapi, apa iya yg bebas bicara hanya yg sesat-sesat? Bukankah pd saat yg sama, para pembela kebenaran pun bebas bicara? Nah, jika para pembela kebatilan bisa memanfaatkan hak-haknya, mengapa para pembela kebenaran tak bisa? Jangan-jangan, para pembela kebenaranlah yg lemah dlm argumen, lemah beretorika, dan sebagainya. Kita harus evaluasi.
Para Nabi dan Rasul berdakwah dgn argumen. Mereka susun argumennya dgn baik. Mereka tak ‘menyalahkan’ para pembela kebatilan yg bicara. Sebaliknya, mereka lawan argumen dgn argumen. Maka, pandanglah demokrasi dan kebebasan yg dibawanya sebagai semacam ‘arena tanding’. Jangan salahkan orang awam yg memilih jadi sekuler, kalau memang kaum anti-sekulernya yg argumennya lemah. Oleh karena itu, para aktivis dakwah harus melengkapi dirinya dgn berbagai keahlian sepertiberbicara di hadapan publik, menulis, dan sebagainya. Para aktivis dakwah jg tak boleh ‘lari’ dari persaingan sains dan teknologi. Harus jadi pemenang di segala lini.
Bagaimana dgn masalah fisik? Harus juga! Orang Barat rajin minum susu, masak orang Islam gak suka. Sunnah, lho! Orang Barat rajin berenang, masak kita kalah? Itu jg sunnah! Tiket kolam renang mahal? Makanya penghasilan dilebihkan demi sunnah, supaya kita bisa jadi pemenang. Bayangkan kalau mau jihad, musuh-musuh kita kekar, kita kurus-kurus semua. Pernah lihat mujahidin Palestina? Besar, tegap, berotot. Seperti itu tuh yg mengikuti sunnah.
Ibnu Mas’ud r.a pernah ditertawakan karena betisnya kecil. Ini perlu jadi catatan khusus. Memang menertawakan fisik orang bukan akhlaq yg baik, makanya ditegur oleh Nabi s.a.w. Lagipula yg diejek Ibnu Mas’ud r.a, padahal beliau adlh salah satu sahabat paling utama, spesialis Al-Qur’an. Tapi kita jg perlu menyadari bahwa di antara sahabat Nabi s.a.w ternyata betis kecil itu minoritas. Artinya, mayoritas badannya kekar2. Ya wajar satu mujahid bisa kalahkan sepuluh musuh. Memang ada unsur ‘pertolongan Allah’ dlm jihad. Tapi pertolongan Allah kan tergantung usaha kita juga. Jika jihadnya asal-asalan, jangan harap turun 1.000 malaikat. Harus berusaha dan penuh persiapan.
Sekali lagi, pandanglah demokrasi sebagai ‘arena tanding’. Memang demokrasi tak 100% sejalan dgn Islam. Tapi jangan sampai kondisi tak ideal membuat kita mundur. Gara-gara menghindari demokrasi, akhirnya masalah pendidikan umat diurus oleh orang-orang sekuler. Padahal, pendidikan umat harus diislamisasi. Kalau tak begitu, kapan sistemnya akan Islami? Yang akan membenahi sistem adlh orang-orang yg punya kompetensi akademis. Berjuang di lini pendidikan itu wajib. Seorang Muslim bisa menyekolahkan, katakanlah, 2-3 orang anak yatim. Sebuah majelis ta’lim bisa sekolahkan berapa? Katakanlah 100 anak. Tapi, seorang Gubernur bisa mendirikan ribuan sekolah. Skalanya sangat berbeda.
Kita tak bisa lari dari pertarungan politik. Umat Muslim harus buktikan diri bisa memimpin. Sistem Islam itu paling OKE! Tapi harus dibuktikan dlm level pribadi. Susah untk meyakinkan orang bahwa pendidikan yg Islami itu lebih baik kalau yg bicara bukan seorang pendidik yg hebat. Maka, jadilah pendidik yg hebat sebelum mengislamisasi pendidikan. Itu baru contoh di dunia pendidikan. Di bidang lain juga. Siapa yg larang bikin sekolah Islam? Kalau sekolah-sekolah Islam kurang bagus, salah siapa? Siapa yg larang bikin rumah sakit Islam? Kalau rumah sakit Islam pelayanannya gak bagus, salah siapa? Siapa yg larang bikin TV dan radio Islam? Kalau TV dan radio Islam kalah bersaing, salah siapa? Siapa yg larang berbisnis? Kalau pebisnis Muslim kurang profesional, salah siapa? Kita perlu berhenti menyalahkan keadaan. Keadaan gak sebuntu itu kok. Manfaatkan kebebasan. Musuh-musuh Islam bisa, kenapa kita tak bisa? Harus bisa lebih baik! Mentalitas ni berlaku di segala bidang.
Selain itu, kita jg harus ‘bersaing’ dgn kaum sekuler di ranah politik. Adu argumen dgn mereka. Orang-orang sekuler tak mungkin mau dibungkam begitu saja. Kita yg harus membungkamnya dgn argumen. Kalau kita bisa membuat orang-orang sekuler mati kutu dlm debat, maka kita akan sukses perjuangkan misi kita.
Terakhir, demokrasi jg tak perlu disikapi secara berlebihan. Demokrasi cuma ‘arena tanding’, itu saja. Tidak ideal? Tentu saja! Kurang adil? Mungkin! Oleh karena itu, yg terlibat di jalur demokrasi tak perlu dituduh ‘menyembah demokrasi.’ Itu tuduhan yg berlebihan. Yang tak mau bersentuhan sama sekali dgn demokrasi, silakan. Mudah-mudahan bisa berkontribusi maksimal, fastabiqul khairat. Tidak ada orang yg menyembah demokrasi. Lagipula kurang kerjaan amat. Ada gak ya orang yg seperti itu?
Setuju / tak dgn demokrasi, marilah kita benahi satu-persatu masalah umat. Masalahnya ribet dan kompleks. Jangan dianalisis dgn terlalu ‘polos’. Ijtihad yg salah nilainya satu, yg benar nilainya dua. Salah ijtihad, tak berdosa. Su’uzhan dan fitnah, nah itu baru dosa. Semoga kita tak terseret oleh demokrasi, tak pula lari dari permasalahan yg sebenarnya. Aamiin yaa Rabbal alamin.
Sumber: http://chirpstory.com/id/malakmalakmal
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer



0 Response to "[Pertanyaan] Demokrasi: Sebuah Perspektif"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *