
ro2blog.blogspot.com - ٦٥٠ - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
650. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Janganlah kalian mendahului Ramadlaan dgn berpuasa sehari / dua hari (sebelumnya), kecuali bagi orang yg biasa berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa. Muttafaqun ‘alaih.Penjelasan ringkas:Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1914 dan Muslim no. 1082, dan ni adlh lafadh Muslim. Diriwayatkan jg oleh Abu Daawud no. 2335, At-Tirmidziy no. 684-685, An-Nasaa’iy no. 2172 & 2190, Ibnu Maajah no. 1650, Ahmad 2/234 & 347 & 408 & 438 & 477 & 497 & 513 & 521, dan yg lainnya. Beberapa faedah yg dpt diambil dari hadits ini: 1. Larangan mendahului puasa Ramadlaan dgn puasa sehari / dua hari sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama ada yg menghukumi haram berdasarkan dhahir larangan, karena asal dari sebuah larangan menunjukkan keharaman. Adapun sebagian ulama lain ada yg menghukumi makruh berdasarkan istitsnaa’ (pengecualian) dlm hadits tersebut. Maksudnya, istitsnaa’ adalah bagi orang yg biasa puasa sunnah sehingga seandainya larangan tersebut bermakna haram, maka ia mesti didahulukan daripada puasa sunnah. Oleh karena itu. Larangan di sini bermakna makruuh. At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا أَنْ يَتَعَجَّلَ الرَّجُلُ بِصِيَامٍ قَبْلَ دُخُولِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِمَعْنَى رَمَضَانَ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يَصُومُ صَوْمًا فَوَافَقَ صِيَامُهُ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَهُمْ
Para ulama mengamalkan hadits ini, dan mereka memakruhkan orang yg mempercepat/mendahulukan puasa sebelum masuknya bulan Ramadlaan karena makna Ramadlaan. Tapi apabila seseorang biasa berpuasa lalu puasanya itu bertepatan dgn hari tersebut, maka tak mengapa menurut mereka [Al-Jaami’ul-Kabiir, 2/64]. 2. Diperbolehkan berpuasa sunnah bagi orang yg terbiasa puasa meskipun kebetulan bertepatan dgn sehari / dua hari sebelum Ramadlaan, seperti puasa Daawud, Senin-Kamis, dan yg lainnya. Kebolehan ni merupakan ijmaa’ ulama. Adapun orang yg berpuasa wajib seperti puasa qadla’ dan puasa nadzar, maka lebih utama untk diperbolehkan karena itu merupakan ‘aziimah baginya. 3. Anjuran melaksanakan amal ibadah dan amal kebaikan yg biasa dilakukan seseorang secara berkesinambungan. Amal kebaikan yg konsisten dilakukan meski sedikit mempunyai keutamaan yg sangat besar sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
Wahai sekalian manusia, hendaknya kalian melakukan amalan yg kalian sanggupi karena Allah tak bosan hingga kalian sendiri yg bosan. Dan sesungguhnya sebaik-baik amalan di sisi Allah adlh yg terus-menerus dilakukan, meskipun sedikit [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1970 & 5862 & 6465 dan Muslim no. 782]. 4. Diantara hikmah larangan tersebut adlh untk membedakan antara ibadah fardlu dgn ibadah sunnah, serta untk mempersiapkan diri menghadapi Ramadlaan sehingga puasa di bulan tersebut menjadi syi’ar tersendiri. Hal yg semisal adlh seperti larangan menyambung shalat fardlu dan shalat sunnah tanpa ada pemisah. Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu pernah berkata: فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami hal tersebut, yaitu agar tak menyambung shalat dgn shalat lainnya hingga kami berbicara / keluar [Diriwayatkan oleh Muslim no. 883]. An-Nawawiy rahimahullah berkata : فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته، وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثره مواضع سجوده، ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة. وقوله: "حتى نتكلم" دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضاً ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله أعلم
Padanya terdapat dalil tentang apa yg dikatakan shahabat-shahabat kami (yaitu fuqahaa’ Syaafi’iyyah) bahwasannya shalat sunnah rawatib dan yg lainnya disunnahkan agar dialihkan pelaksanaannya dari tempat shalat fardlu ke tempat yg lainnya. Berpindah yg paling utama adlh di rumahnya. Dan jika tidak, maka cukup di tempat lain dari masjid / yg lainnya untk memperbanyak tempat sujudnya, dan untk membedakan antara shalat sunnah dgn shalat fardlu. Dan perkataan Mu’aawiyyah : ‘hingga kami berbicara’, merupakan dalil bahwasannya pemisahan antara keduanya (shalat sunnah dgn shalat fardlu) dpt dilakukan dgn berbicara. Akan tetapi berpindah tempat lebih utama dilakukan sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, wallaahu a’lam [Syarh Shahih Muslim, 6/170-171]. عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَاب النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعَصْرَ، فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَرَآهُ عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ: اجْلِسْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَاب أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلَاتِهِمْ فَصْلٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَحْسَنَ ابنُ الْخَطَّاب "
Dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat ‘Ashar, berdirilah seorang laki-laki untk melanjutkan shalatnya. Lalu ‘Umar melihat orang tersebut dan berkata kepadanya : Duduklah ! Ahlul-Kitab telah binasa hanyalah dikarenakan mereka tak membuat pemisah untk shalat-shalat mereka. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sungguh baik apa yg dikatakan Ibnul-Khaththaab [Al-Musnad, 5/368; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dlm Ash-Shahiihah, 6/105-106 no. 2549]. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengomentari hadits ni dgn perkataannya : و الحديث نص صريح في تحريم المبادرة إلى صلاة السنة بعد الفريضة دون تكلم أو خروج
Dan hadits tersebut merupakan nash yg jelas tentang pengharaman untk langsung melanjutkan shalat sunnah setelah shalat fardlu tanpa berbicara / keluar [Silsilah Ash-Shahiihah, 6/105]. 5. Banyak ulama Syaafi’iyyah berpendapat bahwa larangan berpuasa tersebut dimulai dari tanggal 16 Sya’baan berdasarkan hadits: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضَانُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Apabila tiba pertengahan bulan Sya’baan, janganlah berpuasa hingga tiba bulan Ramadlan [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2337, At-Tirmidziy no. 738, Ibnu Maajah no. 1651, Ahmad 2/442, ‘Abdurrazzaaq no. 7325, dan yg lainnya; shahih]. Sebagian ulama ada yg mendla’ifkan hadits ni dan sebagian yg lain menshahihkannya; dan pendapat yg menshahihkannya itu menurut kami yg lebih kuat, wallaahu a’lam. At-Tirmidziy mengatakan : "Hadits Abu Hurairah adlh hadits hasan shahih". Al-Albaaniy menshahihkannya dlm Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/392. At-Tirmidziy rahimahullah menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut : وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ مُفْطِرًا فَإِذَا بَقِيَ مِنْ شَعْبَانَ شَيْءٌ أَخَذَ فِي الصَّوْمِ لِحَالِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُشْبِهُ قَوْلَهُمْ حَيْثُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَدَّمُوا شَهْرَ رَمَضَانَ بِصِيَامٍ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَقَدْ دَلَّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّمَا الْكَرَاهِيَةُ عَلَى مَنْ يَتَعَمَّدُ الصِّيَامَ لِحَالِ رَمَضَانَ
Makna hadits tersebut menurut sebagian ulama adlh : Jika seseorang tak terbiasa berpuasa, kemudian ketika masuk pd pertengahan bulan Sya'ban, ia baru mulai berpuasa karena (menyambut) bulan Ramadlaan. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (satu hadits) yg semisal makna yg diterangkan oleh mereka, yaitu beliau shalallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Janganlah kalian berpuasa mendahului bulan Ramadlaan dgn puasa, kecuali jika bertepatan hari yg kalian biasa berpuasa’. Hadits ni menunjukan larangan bagi orang yg sengaja berpuasa menjelang datangnya puasa Ramadlan [Dinukil melalui perantaraan Jaami’ Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah fish-Shiyaam wal-Qiyaam wal-I’tikaaf oleh Hamdiy Haamid Shubh, hal. 37, muraja’ah : ‘Aliy Al-Halabiy]. Maka, jika seseorang berniat untk puasa bulan Sya’ban dan ia telah memulainya sebelum pertengahan Sya’ban, maka tak mengapa ia berpuasa hingga pd pertengahan kedua bulan Sya’ban. Tapi ketika sampai sehari / dua hari sebelum bulan Ramadlaan, hendaklah ia berhenti karena ada larangan yg tercantum pd hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dlm bab ini. **********٦٥١ - وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ [قَالَ]: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : ((مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)).
وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ.
651. Dari ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa yg berpuasa di hari yg diragukan padanya, sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, dan disambungkan sanadnya oleh imam yg lima serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan.Penjelasan ringkas: Al-Bukhaariy menyebutkannya secara mu’allaq (4/119 - Fathul-Baariy) dgn shighah jazm (pasti). Disambungkan sanadnya oleh Abu Daawud no. 2334, At-Tirmidziy no. 686, An-Nasaa’iy no. 2188, Ibnu Maajah no. 1645, Ad-Daarimiy no. 1724, oleh Ibnu Abi Syaibah 3/73, Ibnu Khuzaimah no. 1914, Ibnu Hibbaan 8/351 no. 3585 & 8/360-361 no. 3595 dan dlm Al-Mawaarid 3/179 no. 878, Al-Bazzaar dlm Al-Bahr no. 1394, Ad-Daaraquthniy no. 2150, Al-Haakim 1/423-424, dan Al-Baihaqiy 4/208 (350) no. 7952. Selain Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbaan, hadits ni jg dishahihkan para imam yg lain. At-Tirmidziy berkata : Hadits ‘Ammaar adlh hadits hasan shahih. Ad-Daaraquthniy berkata : Sanad hadits ni hasan shahih, para perawinya tsiqaat. Al-Haakim berkata : Ini adlh hadits shahih sesuai persyaratan Shahihain, tapi keduanya tak meriwayatkannya. Al-Baihaqiy dlm Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar 3/353 berkata : Hadits ni sanadnya shahih. Beberapa faedah yg dpt diambil dari hadits ini: 1. Larangan berpuasa di hari syakk (meragukan). Para ulama berbeda perkataan dlm mendefinisikan hari syakk.Sebagian ulama berkata bahwa ia adlh hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya gelap / langit diliputi mendung sehingga hilal tak tampak. Sebagian ulama lain berpendapat : hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya langit dlm keadaan cerah / berawan, kemudian diberitahukan adanya ru’yah hilal dari orang yg tak diterima persaksiannya seperti budak, wanita, / orang fasik. Sebagian lagi berpendapat ia adlh hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya hilal tak nampak dlm keadaan langit cerah tanpa ada faktor yg menghalangi tampaknya hilal seperti mendung, gelap, / yg lainnya. Yang kesemuanya itu menimbulkan keraguan : apakah hari tersebut masih bulan Sya’baan ataukah telah masuk bulan Ramadlaan. [Catatan : semua pendapat itu bersatu dlm definisi : hari ke-30 bulan Sya’ban dan hilaal di malam harinya tak tampak; karena jika hilaal telah tampak maka tak ada keraguan bahwa telah masuk bulan Ramadlaan]. Hadits ni sebagai sanggahan terhadap pendapat Hanaabilah[1] yg mengatakan wajib berpuasa dlm rangka kehati-hatian jika hilal di malam tigapuluh tak nampak padahal langit tak berawan / tak gelap (cerah). 2. Hadits ni menunjukkan kaedah syar’iyyah: الأصل بقاء ما كان على ما كان
Hukum asal suatu perkara tetap pd asalnya. الرجوع للأصل عند الشك
Hukum kembali pd asalnya ketika ada keraguan. Maksudnya, jika ada keraguan pd hari ke-30 bulan Sya’ban apakah ia telah masuk bulan Ramadlaan ataukah belum, maka hari itu tetap dihukumi sebagai bulan Sya’baan. Sama halnya seperti ketika seorang shahabat ragu dlm shalatnya apakah ia telah batal ataukah belum dikarenakan sesuatu di dlm perutnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَا، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Tidak (batal), hingga ia mendengar suaranya (kentut) / mencium baunya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 137 & 177 & 2056 dan Muslim no. 361]. Secara umum, ni dpt diqiyaskan dlm hal-hal yg lainnya. 3. Puasa Ramadlaan tak dimulai kecuali dgn satu keyakinan akan masuknya bulan Ramadlaan, yaitu dgn terlihatnya hilaal / setelah menggenapkan bulan Sya’ban 30 hari. 4. Masyru’-nya menggunakan kun-yah bagi laki-laki maupun wanita Sudah menjadi kebiasaan semenjak pra-Islam hingga kemudian ditetapkan oleh syari’at Islam, orang-orang menggunakan kun-yah bagi dirinya. Nama kun-yah ini dpt dinisbatkan kepada anaknya seperti yg digunakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Abul-Qaasim), kepada ayahnya seperti ‘Abdullah bin ‘Umar yg berkunyah Ibnu ‘Umar, / yg lainnya seperti ‘Aliy bin Abi Thaalib yg ber-kun-yah Abu Turaab[2]. Bahkan anak-anak pun boleh memakai nama kun-yah[3]. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memakai kun-yah Abul-Qaasim bagi selain diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat yg raajih - wallaahu a’lam - adlh pendapat ulama yg mengatakan kun-yah Abul-Qaasim dilarang khusus bagi mereka yg bernama Muhammad / Ahmad saja. Bagi yg tak bernama ini, maka boleh baginya ber-kun-yah Abul-Qaasim. Hal ni berdasarkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : لَا تَجْمَعُوا بَيْنَ اسْمِي وَكُنْيَتِي، فَإِنِّي أَنَا أَبُو الْقَاسِمِ، اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي، وَأَنَا أَقْسِمُ
Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kunyahku. Karena sesungguhnya akulah Abul-Qasim. Allah ‘azza wa jalla lah yg memberi dan akulah yg membagi [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/433 no. 9596, Ishaaq bin Rahawaih dlm Musnad-nya no. 1275, Ibnu Hibbaan no. 5814 & 5817, dan yg lainnya; shahih]. Hadits ni memberikan mafhum bahwa jika tak mengumpulkan antara nama dan kunyah adlh diperbolehkan.Wallaahu a’lam. Bersambung, insya Allah. [abul-jauzaa’ - perumahan bukit asri ciomas indah, sabtu, 06062015 - Buluughul-Maraam dengan penomoran sesuai tahqiq Samiir bin Amiin Az-Zuhairiy].[1] Lihat : Al-Hidaayah ‘alaa Madzhab Al-Imaam Abi ‘Abdillah oleh Abul-Khaththaab, hal. 153-154, tahqiq & takhrij & ta’liq : Maahir bin Yaasiin Al-Fakhl; Penerbit Ghiraasy, Cet. 1/1425, Kuwait.[2]Turaab artinya tanah. Abu Turaab adlh kun-yah yang diberikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ، فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ " Dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Faathimah tapi tak mendapatkan ‘Aliy dlm rumah tersebut. Beliau bertanya : Dimanakah anak pamanmu ?. Faathimah menjawab : Telah terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu marah kepadaku kemudian ia keluar dan tak tidur siang bersamaku. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang : Carilah, dimanakah ia berada !. Lalu orang tersebut datang dan berkata : Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran di masjid . Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan selendangnya terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : Bangunlah Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab ! [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 441].[3] Seperti salah seorang shahabat kecil yg ber-kun-yah Abu ‘Umair.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قال: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ، قَالَ: أَحْسِبُهُ، قَالَ: كَانَ فَطِيمًا، قَالَ: فَكَانَ إِذَا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَآهُ، قَالَ أَبَا عُمَيْرٍ: مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ؟، قَالَ: فَكَانَ يَلْعَبُ بِهِ Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adlh orang yg paling baik akhlaqnya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yg dipanggil Abu ‘Umair yg aku kira waktu itu sedang disapih. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan melihatnya, beliau menyapanya : Wahai Abu ‘Umair, apa yg terjadi pd An-Nughair (si burung pipit kecil) ?. Waktu itu ia sedang bermain dgn nughair [Diriwayatkanb oleh Al-Bukhaariy no. 6129 & 6203, Muslim no. 2150, Abu Daawud no. 4969, At-Tirmidziy no. 333 & 1989, dan yg lainnya].
other source : http://detik.com, http://imgur.com, http://abul-jauzaa.blogspot.com
0 Response to "Buluughul-Maraam Hadits No. 650-651 : Larangan Mendahului Berpuasa Menjelang Ramadlaan - Syi'ah"
Post a Comment