ro2blog.blogspot.com - Entah dari mana asalnya, masyarakat kita seakan menyepakati bahwa tugas utama seorang istri adlh eksploitasi terkait sumur (nyuci baju, dan pekerjaan bersih-bersih lainnya), kasur (hanya menjadi pelampiasan biologis), dan dapur (seabrek kegiatan memasak demi menuruti hasrat perut suami dan seluruh anggota keluarganya).
Pemahaman ‘sesat’ inilah yg menjadi salah satu sebab malasnya kaum lelaki untk membantu melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Padahal, jika ditilik dari sisi penggunaan tenaga, mencuci baju sekeluarga, merapikan rumah, memasak berkali-kali dlm sehari sepanjang waktu, dan aktivitas kasur, sejatinya adlh kerja ke-saling-an. Bersama-sama. Bareng-bareng, bukan dibebankan kepada salah satu pihak saja.
Keadaan ni diperparah dgn anggapan masyarakat secara umum. Sehingga, suami-suami yg menyucikan baju istrinya, memasak untk anggota keluarganya, dgn serampangan dipandang sebelah mata, dibully, bahkan dilabeli dgn ‘suami-suami takut istri’.
Duh, malangnya. Padahal, para suami melakukan itu semua dgn kesadaran penuh, keikhlasan terbaik, dan kerja terprofesional. Mereka melakukan itu demi menyempurnakan perintah Allah Ta’ala bahwa suami harus berlaku ma’ruf kepada istri-istri dan anak-anaknya.
Jika hendak diteliti lebih mendalam, sejatinya orang-orang yg nyinyir kepada suami sayang istri jenis ni memiliki tingkat iri yg sangat besar.
Pertama, jika yg membully adlh seorang wanita, barangkali ia amat iri. Kok, suamiku gak sebaik suaminya ya? Sudah tampan, gagah, mudah, kaya, shalih, rajin membantu istri mencuci dan masak juga.
Sejatinya, ia berpikir keras hingga sampai pd tahap menyesal. Padahal, aku lebih cantik dari istrinya. Lebih muda juga. Tetapi, kenapa suamiku gak lebih segala-galanya dari suaminya?
Kedua, jika kelompok ni terdiri dari kaum bapak, maka ia pun alami iri yg serupa. Enaknya jadi Fulan. Cinta istri-istri dan anak-anaknya amat besar kepadanya. Hingga, ia meluangkan waktu di luar kerja mencari nafkah untk mencuci dan memasak.
Sedangkan aku, lanjutnya memelas, tak miliki sedikit pun alasan. Bahkan, aku semakin malas untk bersungguh-sungguh mencintai istriku. Pungkas mereka, Aduhai bahagianya si Fulan. Istrinya rela menjadi jembatan baginya untk melangkahkan kaki.
Agak aneh, ada pula kalangan ni yg berasal dari kaum bujangan. Mereka ikut membully dgn mengatakan, Kasihan banget, sudah nikah masih nyuci sendiri. Padahal nih ya, mereka belum merasakan nikmatnya ‘dipijitin’, serunya ‘digelitikin’, syahdunya ngaji bareng, enaknya dilayani, dan seabrek keseruan lain di dlm pernikahan yg diberkahi.
Eh ya, ada jg golongan keempat; mereka yg berpacaran dan sibuk membayangkan. Padahal, pacarnya itu belum terjamin menikahi. Dan, di luar sana, ada begitu banyak ‘saingan’ yg lebih kaya, kinclong, bening, dan baik.
Nah, inilah golongan yg paling merugi. Semoga bukan kalian ya…
0 Response to "[Parenting] Renungan: Suami Kok Nyuci Baju?"
Post a Comment