Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif belakangan ni sibuk oleh kegiatan bedah buku terbarunya, “Islam dlm Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”. Buku utuh yg bicara tentang ketiga hal dari suduh pandangan sejarah tersebut merupakan sebuah ikhtiar yg bisa dibilang ambisius untk mengawal eksistensi bangsa Indonesia melalui basis gerakan Islam Indonesia.
Dua kelompok besar Islam, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), sekalipun dgn kekurangan di sana-ini, menurut cendekiawan yg akrab dipangil Buya tersebut telah menjadi merek paten bagi gerakan Islam moderat, modern, terbuka dan konstruktif. Hanya saja menurutnya, tak berarti bebas dari oknum-oknum radikal dlm arus besar ini. “Mereka tak menentukan, dan biasanya tersingkir dari kepengurusan inti. Hal tersebut disebabkan kimia pemikirannya terasa asing untk dpt menyatu dgn arus utama yg bercorak keIndonesiaan dan dlm bingkai Islam yg ramah,” paparnya dlm halaman 315. Dalam buku itu, Buya kemudian menceritakan latarbelakang historis Islam di Nusantara lebih disebabkan oleh kuatnya model gerakan sosial-kultural ketimbang politik. Oleh sebab itu, dinamika panjang penyebaran Islam di Nusantara jg perlu dilihat secara khusus, termasuk pengalaman keberhasilan NU dan Muhammadiyah. “Dulu gerakan Islam puritan yg dimulai abad ke-19 di Sumatera Barat menemui banyak kesulitan kultural dlm menghadapi lapisan nilai-nilai lama yg telah bertapak kukuh sebelumnya. Proses pergumulan ni masih berlangsung sampai sekarang, tetapi hampir tak lagi menimbulkan keguncangan-keguncangan sosial yg berarti,” jelasnya. Buya melanjutkan, puritanisme agresif yg tampak pd Gerakan Paderi di Sumatera Barat (Ranah minang) telah semakin ditinggalkan, diganti dgn pendekatan-pendekatan kultural yg lebih mencerahkan dan persuasif. Buya menceritakan, Muhammadiyah lahir pd awal dasawarsa kedua abad ke-20 di Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa, dan kemudian berkembang dgn sangat cepat di Ranah minang. Disamping mengusung bendera puritanisme moderat, kegiatan konkretnya di lapangan pendidikan dan kesehatan telah mengukuhkan dirinya sebagai gerakan Islam yg berorientasi amal, yg terkemuka di muka bumi. Setidak-tidaknya, pd tataran jumlah, hampir tak ada gerakan Islam yg bisa menandinginya. Sementara NU menurut Buya, lebih mendaratkan gerakan Islam dlm tradisi, lahir tahun 1926, yg semula ingin membendung pengaruh puritanisme dan lebih menenggang tradisi dan nilai-nilai lama, dlm perkembangan belakangan bahkan semakin dekat dgn Muhammadiyah dlm arti telah membuka diri secara lebar terhadap pemikiran-pemikiran baru Islam. “Bahkan boleh jadi anak-anak muda NU lebih “maju” dari Muhammadiyah dlm hal penyerapan hasil-hasil pemikiran baru yg muncul di Dunia Islam, diawali sejak akhir abad ke-20. Bagi saya, perkembangan semacam ni tak ada yg perlu dikhawatirkan dan dicemaskan sebab sebuah “perlombaan” dlm menebarkan nilai-nilai baik dan pencerahan, tetapi harus disikapi secara positif, siapa pun yg melakukan.”Pesan untk generasi muda
Kepada kaum intelektual muda Muhammadiyah dan NU, Buya sangat berharap agar generasi muda memikirkan sebuah bangunan Islam Indonesia dlm paradigma pasca-Muhammadiyah dan pasca-NU, terutama dlm orientasi pemikiran inovatif dan kreatif. Dalam buku tersebut Buya menilai, potensi untk menjaga keutuhan bangsa ni di kalangan NU dan Muhammadiyah termasuk luar biasa. Adapun perkara pimpinan yg lebih tua terkadang merasa tak nyaman dgn kiprah anak-anak muda ini, bukan perkara aneh. “Bukankah tiap terobosan pemikiran yg “maju” hampir pasti akan menimbulkan guncangan dan mungkin kecurigaan, tetapi secara diam-diam diikuti dgn syarat landasan pemikiran yg ditawarkan cukup kuat secara agama dan akal sehat,” terangnya. Menurut Buya, perbedaan dua generasi tersebut sebenarnya lebih karena masalah kesenjangan bacaan, informasi, dan luas sempitnya radius pergaulan. Anak-anak Muda menurut Buya, lebih “rakus” dlm melalap bacaan-bacaan baru yg lebih segar, sementara yg tua masih terpaku dgn khazanah yg serba klasik yg relevansinya belum tentu sesuai dgn perkembangan baru. Gejala semacam ni tampaknya seakan-akan telah menjadi kecenderungan sejarah hampir di semua negeri Muslim. “Peradaban Islam tak boleh dibiarkan seperti “kerakap di atas batu, mati tidak, hidup pun enggan”. Harus ada keberanian untk melakukan terobosan dgn berpijak atas dalil-dalil agama yg dipahami secara benar dan cerdas, tekstual sekaligus kontekstual. Penafsiran Islam klasik jangan dijadikan “berhala”, sehingga hilang keberanian untk menafsirkan Islam dgn cara baru, segar dan bertanggungjawab. Tafsiran baru ni harus benar dlm perspektif ilmu, tetapi tetap berada dlm parameter iman yg tulus,” terangnya. “Sampai batas-batas tertentu, saya telah sering berdialog dan bergaul dgn anak-anak muda arus besar ini. Kesimpulan saya adlh bahwa sikap mereka sudah sangat terbuka, berbeda dgn generasi tua mereka yg sering kali saling menutup diri. Hendaklah dipahami bahwa Muhammadiyah dan NU bukanlah agama, melainkan gerakan untk mencapai tujuan Islam yg meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia, demi tegaknya keadilan, persaudaraan, dan kebersamaan di kalangan masyarakat Indonesia yg plural,” pesannya. Dengan situasi itu, Buya berpesan agar generasi muda harus bersikap bijak dgn tetap berada di dlm gelombang arus besar itu dgn memelihara daya kritisme yg tinggi, tetap sopan sambil menciptakan ranah yg kondusif bagi tampilnya generasi kepemimpinan baru yg lebih segar, dgn integritas moral-intelektual yg diakui semua pihak, apapun parameter yg dipakai. Dalam pandangan Buya, ada keharusan anak-anak muda NU dan Muhammadiyah senantiasa melakukan dialog intensif dlm upaya merumuskan dan mendudukkan secara apik mengenai format hubungan Islam dan keindonesiaan. Sebab, gerak ke arah itu sudah dimulai, tetapi masih memerlukan visi yg lebih tajam lagi sehingga citra Islam yg tampil adlh Islam yg mengayomi semua pihak. “Genderang perang yg ditabuh oleh segelintir orang harus dihadapi dgn menabuh genderang perdamaian, keadilan, kesopanan, inklusifisme, dan pluralisme dgn cara yg penuh wibawa karena kita yakin pd prinsip kebenaran yg kita pegang,” terangnya.[Hafid/Civicislam)source : http://civicislam.blogspot.com, http://viva.co.id, http://tribunnews.com
0 Response to "[Teori] Ahmad Syafii Maarif: NU dan Muhammadiyah Telah Menjadi Merek Paten Islam-Moderat"
Post a Comment