Moralitas PolitikOleh: Asep Salahudin
JAKARTA, KOMPAS - Seandainya orang menyimpulkan bahwa dlm ranah politik, mempercakapkan moralitas itu adlh sesuatu yg absurd, pernyataan ni tak berlaku bagi salah seorang manusia pergerakan bernama Hatta.
Hatta menjadi sosok menggetarkan yg menunjukkan bahwa politik dan moralitas dpt bersanding berkelindan, bisa menyatu menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian dan tindakan politik hariannya. Selaras dgn keyakinannya, "Pemimpin berarti suri teladan dlm segala perbuatannya...."
Maka, menjadi sangat mudah bagi salah seorang proklamator kelahiran Kota Bukittinggi (1902) ni menanggalkan jabatan prestisius wakil presiden (1956) ketika kekuasaan dianggapnya telah jauh menyimpang dari khitahnya tatkala kawan seperjuangannya, Bung Karno, dipandang sudah semakin lupa diri terserap dlm hiruk-pikuk gelora politik revolusi belum selesai yg disulutnya sendiri.
Menanggalkan jabatan wakil presiden otomatis adlh meninggalkan semua fasilitas negara, melucuti semua kemudahan yg diberikan kekuasaan kepadanya. Orang lain dgn segala daya memburu tampuk kekuasaan, Bung Hatta dgn mudahnya melepaskan tata rias kuasa. Setelah selesai bertugas menjadi wakil presiden, ia jg menolak semua tawaran perusahaan untk dijadikan komisaris utama karena ia sangat paham jabatan komisaris di negeri agraris yg baru terlepas dari penjajah hanya cara lain untk dijadikan alat "pengaman" perusahaan.
Karena moralitas yg menjadi prinsip dasar perjuangan politiknya, Hatta tak ewuh pakewuh ketika harus mengkritik Bung Karno lewat brosur "Demokrasi Kita" / melalui senarai tulisan yg diterbitkan Panji Masyarakat (1960) yg membuat Soekarno berang dan majalah itu kemudian diberedelnya.
Jawaban Hatta, "Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tetapi, setelah ia mengalami cobaan yg pahit, ia akan muncul kembali dgn keinsafan." Juga bukan karena Hatta ahli nujum kalau ia memprediksi bahwa kekuasaan dgn sistem demokrasi terpimpin tak akan lama bertahan. Keyakinan ilmiahnya sangat jelas, "Diktator yg bergantung pd kewibawaan seseorang tak lama umurnya... akan roboh dgn sendirinya seperti rumah dan kartu." Bukan mengkritik pribadi Bung Karno, tetapi mengkritik pemikiran dan langkah-langkah politiknya. Maka, menjadi sangat dimaklumi di persimpangan pemaknaan terhadap politik kebangsaan, hubungan kemanusiaan keduanya tetap terjaga, harmonis, dan kental.
Ketika Hatta dirawat, Soekarno berada di sampingnya. Sebaliknya, tatkala Bung Karno kritis dua hari sebelum ajalnya tiba, Hatta-lah yg mendampinginya. Lama saling bersalaman. Saling bertatapan. Dua proklamator ni seolah sedang kembali melakukan napak tilas atas jejak silam ketika keduanya bahu-membahu lantang meneriakkan perlawanan terhadap kaum kolonial, ingatannya dipertemukan saat-saat membaca teks proklamasi yg ditunggu-tunggu seluruh rakyat Nusantara.
Tidak mustahil terlintas dlm benak Bung Karno, sosok Hatta dgn kacamata tebal yg dgn heroik membacakan pidato pembelaannya berjudulIndonesie Vrij (Indonesia Merdeka) di pengadilan Belanda atas pasal telah melakukan penghasutan dan penghinaan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Tidak menutup kemungkinan jg dlm ingatan Bung Hatta sosok Soekarno muda yg tanpa tergurat sedikit pun air muka takut ketika menyampaikan pleidoi di Pengadilan Bandung yg berjudul "Indonesia Menggugat" tahun 1930.
Moralitas inklusif
Moralitas yg dikembangkan Hatta bukanlah moralitas berwatak partisan, eksklusif, dan tertutup, tetapi moralitas yg inklusif, terbuka, dan kosmopolit. Moralitas yg telah memosisikan dirinya tak hanya menjadi sangat berwibawa di kalangannya sendiri, tetapi jg dihargai di semua lapisan masyarakat, lintas agama, lintas budaya, lintas etnik, dan lintas negara. Sosoknya sebagai penganut agama yg saleh tak kemudian membuat dirinya puritan, tetapi imannya malah bisa memberikan rasa aman kepada warga yg berlainan pilihan keyakinannya. Imannya telah menjadi pandu yg membuatnya amanah ketika diberi tugas mengelola kekuasaan.[]
sumber: kompas
JAKARTA, KOMPAS - Seandainya orang menyimpulkan bahwa dlm ranah politik, mempercakapkan moralitas itu adlh sesuatu yg absurd, pernyataan ni tak berlaku bagi salah seorang manusia pergerakan bernama Hatta.
Hatta menjadi sosok menggetarkan yg menunjukkan bahwa politik dan moralitas dpt bersanding berkelindan, bisa menyatu menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian dan tindakan politik hariannya. Selaras dgn keyakinannya, "Pemimpin berarti suri teladan dlm segala perbuatannya...."
Maka, menjadi sangat mudah bagi salah seorang proklamator kelahiran Kota Bukittinggi (1902) ni menanggalkan jabatan prestisius wakil presiden (1956) ketika kekuasaan dianggapnya telah jauh menyimpang dari khitahnya tatkala kawan seperjuangannya, Bung Karno, dipandang sudah semakin lupa diri terserap dlm hiruk-pikuk gelora politik revolusi belum selesai yg disulutnya sendiri.
Menanggalkan jabatan wakil presiden otomatis adlh meninggalkan semua fasilitas negara, melucuti semua kemudahan yg diberikan kekuasaan kepadanya. Orang lain dgn segala daya memburu tampuk kekuasaan, Bung Hatta dgn mudahnya melepaskan tata rias kuasa. Setelah selesai bertugas menjadi wakil presiden, ia jg menolak semua tawaran perusahaan untk dijadikan komisaris utama karena ia sangat paham jabatan komisaris di negeri agraris yg baru terlepas dari penjajah hanya cara lain untk dijadikan alat "pengaman" perusahaan.
Karena moralitas yg menjadi prinsip dasar perjuangan politiknya, Hatta tak ewuh pakewuh ketika harus mengkritik Bung Karno lewat brosur "Demokrasi Kita" / melalui senarai tulisan yg diterbitkan Panji Masyarakat (1960) yg membuat Soekarno berang dan majalah itu kemudian diberedelnya.
Jawaban Hatta, "Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tetapi, setelah ia mengalami cobaan yg pahit, ia akan muncul kembali dgn keinsafan." Juga bukan karena Hatta ahli nujum kalau ia memprediksi bahwa kekuasaan dgn sistem demokrasi terpimpin tak akan lama bertahan. Keyakinan ilmiahnya sangat jelas, "Diktator yg bergantung pd kewibawaan seseorang tak lama umurnya... akan roboh dgn sendirinya seperti rumah dan kartu." Bukan mengkritik pribadi Bung Karno, tetapi mengkritik pemikiran dan langkah-langkah politiknya. Maka, menjadi sangat dimaklumi di persimpangan pemaknaan terhadap politik kebangsaan, hubungan kemanusiaan keduanya tetap terjaga, harmonis, dan kental.
Ketika Hatta dirawat, Soekarno berada di sampingnya. Sebaliknya, tatkala Bung Karno kritis dua hari sebelum ajalnya tiba, Hatta-lah yg mendampinginya. Lama saling bersalaman. Saling bertatapan. Dua proklamator ni seolah sedang kembali melakukan napak tilas atas jejak silam ketika keduanya bahu-membahu lantang meneriakkan perlawanan terhadap kaum kolonial, ingatannya dipertemukan saat-saat membaca teks proklamasi yg ditunggu-tunggu seluruh rakyat Nusantara.
Tidak mustahil terlintas dlm benak Bung Karno, sosok Hatta dgn kacamata tebal yg dgn heroik membacakan pidato pembelaannya berjudulIndonesie Vrij (Indonesia Merdeka) di pengadilan Belanda atas pasal telah melakukan penghasutan dan penghinaan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Tidak menutup kemungkinan jg dlm ingatan Bung Hatta sosok Soekarno muda yg tanpa tergurat sedikit pun air muka takut ketika menyampaikan pleidoi di Pengadilan Bandung yg berjudul "Indonesia Menggugat" tahun 1930.
Moralitas inklusif
Moralitas yg dikembangkan Hatta bukanlah moralitas berwatak partisan, eksklusif, dan tertutup, tetapi moralitas yg inklusif, terbuka, dan kosmopolit. Moralitas yg telah memosisikan dirinya tak hanya menjadi sangat berwibawa di kalangannya sendiri, tetapi jg dihargai di semua lapisan masyarakat, lintas agama, lintas budaya, lintas etnik, dan lintas negara. Sosoknya sebagai penganut agama yg saleh tak kemudian membuat dirinya puritan, tetapi imannya malah bisa memberikan rasa aman kepada warga yg berlainan pilihan keyakinannya. Imannya telah menjadi pandu yg membuatnya amanah ketika diberi tugas mengelola kekuasaan.[]
sumber: kompas
source : http://docstoc.com, http://tempo.co, http://civicislam.blogspot.com
0 Response to "Esai Moralitas Politik Asep Salahudin di Harian Kompas Jumat 3 Juli 2015"
Post a Comment