This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Islami] WASPADA!! Riba Menjelang Lebaran

WASPADA!! Riba Menjelang Lebaran
Mendekati lebaran, bisnis tukar uang mulai "menjamur" di pinggir-pinggir jalan raya, khususnya jalan-jalan raya di kota-kota besar seperti Jakarta. Bisnis tukar uang yg biasanya berlangsung di pinggir jalan raya dimana beberapa orang berdiri sambil mengacung-acungkan sebendel uang kertas yg terbungkus rapi. Ada uang pecahan kertas senilai 1.000-an, 2.000-an, 5.000-an, 10.000-an hingga 20.000-an Pelanggannya tentu orang-orang yg hendak berhari raya dgn membagi-bagikan uang receh kepada tamu anak-anak, famili / tetangga sebelah.

Untuk kebutuhan bagi-bagi "angpao" itu, orang biasanya tak sempat bila harus antri di loket penukaran uang yg ada di Bank. Karena itu, jasa para calo penukaran uang tersebut relatif dibutuhkan. Inilah salah satu peluang bisnis sekaligus pernik Ramadan yg barangkali hanya ada di Indonesia.

Masalahnya adlh apakah penukaran uang rupiah yg tak sama nilainya itu hukumnya halal ataukah haram? Mengingat, jika kita hendak menukar uang sebesar Rp 100.000,- maka kita harus membayar Rp 110.000 / 120.000,- Artinya, dlm praktik transaksi ni ada kelebihan uang yg nilainya tak sama. Bukankah itu riba, dan riba dlm perspektif hukum Islam sudah jelas-jelas haram?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) di beberapa daerah seperti MUI Kabupaten Jombang, Jawa Timur, telah menfatwakan bahwa sistem penukaran uang semacam itu adlh haram dan dilarang agama. Keharaman ni terletak pd aspek riba / kelebihan nilai uang dlm transaksi tukar-menukar yg tak sepadan nilainya sehingga ada pihak yg dirugikan.

Dalam pandangan orang awam, bisnis seperti ni mungkin saja sudah dianggap hal yg lumrah dan wajar. Bahkan, orang-orang di pasar tradisional jg ramai memakai jasa tersebut. Mereka tak merasa dirugikan dan merasa ridha / rela membayar kelebihan uang senilai 10 / 20 ribu (10%) dari tiap penukaran 100 / 200 ribu. Menurut mereka, praktik itu adlh wajar, toh pelanggan merasa puas dan kelebihan itu dianggap sebagai ongkos jasa antri uang bagi si penjual / si calo penukaran uang.

Pemahaman semacam ini, jika tak diluruskan akan mengakibatkan kesesatan dlm memahami agama. Bukan itu saja, praktik ni jika tak dicegah, maka akan merugikan umat dan merusak sistem ekonomi. Bukankah Allah telah menegaskan dlm al-Quran (al-Baqarah ayat 275) bahwa ba'i (jual-beli) tak sama dgn riba (renten)? Bai' hukumnya halal dan riba hukumnya haram. Bahkan, Allah mengancam akan memusnahkan harta hasil riba (QS. Al-Baqarah ayat 276) dan pelakunya disebut sebagai orang kafir yg kelak akan disiksa dgn siksaan yg teramat pedih (QS. An-Nisa’ ayat 161)

"Mereka mengira jual-beli itu sama dgn riba...", demikian penjelasan al-Quran (al-Baqarah ayat 275) yg ternyata perkiraan itu telah menjadi semacam mindset / pola pikir umat yg keliru. Dalam fiqih muamalat, harus dibedakan antara jual-beli dgn tukar menukar. Kalau kita memiliki uang dlm nilai rupiah dan ingin "menukar"nya dgn uang dolar, misalnya, maka transaksi yg umumnya digunakan adlh jual-beli, bukan tukar-menukar. Sebab, nilai kursnya tak sama dan mata uangnya pun berlainan. Karena itu, dlm hal seperti ni hukumnya boleh / halal. Mengapa? Sebab beda jenis mata uang dan jg nilainya.

Lain halnya dgn "penukaran" uang rupiah dgn rupiah. Di sini tak bisa memakai sistem jual-beli sebab nilai uangnya sama meskipun secara fisik yg satu cetakan baru dan bersih, sedangkan yg lain kotor dan lusuh. Bukankah nilai uang baru maupun lama itu sama nilainya? Sehingga, jelas di sini ada riba yg haram hukumnya.

Tidak bisa kita beralasan bahwa kelebihan uang yg 10% / lebih itu sebagai ongkos jasa antri bagi si calo. Alasan semacam ni dinamakan "hilah", manipulasi / akal-akalan terhadap hukum untk menghalalkan yg haram. Dosa hilah justru lebih besar dan bahkan mengarah kepada syirik jika berani menghalalkan sesuatu yg jelas-jelas haram!

Jika memang itu adlh uang jasa, mengapa mesti ditentukan nominalnya bahwa tiap penukaran 100.000 harus membayar 10% (110.000). Jika uangnya 1 juta, maka harus merogoh kocek 100 ribu sebagai ongkos riba? Mestinya, kalau uang kelebihan itu mau disebut ongkos jasa antri, maka cukup si calo menentukan ongkos jasa sebesar Rp 10.000 misalnya untk tiap transaksi tanpa peduli berapapun besarnya nilai tukar uang tersebut.

Jadi, misalnya, kita tukar uang 20 juta, maka kita pun mendapat uang sebesar Rp. 20 juta juga. Sama nilainya, tak lebih tak kurang. Lalu, kita cukup membayar ongkos antri sesuai ketentuan, misalnya, sebesar 10 ribu. Jika kita menukar uang hanya 10 ribu, ongkosnya pun tetap sama, yakni 10 ribu rupiah.

Bila semacam ni praktiknya, maka uang tadi memang benar-benar murni ongkos jasa dan tak ada hubungannya dgn nilai uang yg ditukarkan tersebut. Apakah tak merugikan bagi si calo? Jelas tidak. Tidak ada yg dirugikan. Kalau jasa antri si calo tak mau dibayar sebesar itu, yah tak usah bisnis tukar-menukar uang. Toh, dia jg bebas menentukan jasa antrinya, misalnya, 50 ribu untk tiap transaksi.

Dalam kaidah fiqih, disebutkan bahwa, al-ibadah manutun bin-niyyah wal mu'amalah manutun bil-'aqdi, ibadah itu tergantung niatnya, sedangkan mu'amalat tergantung pd akad transaksi.

Melihat fenomena tersebut yg mulai marak di beberapa kota, seharusnya pemerintah lebih peka dan berperan aktif mencegah terjadinya transaksi haram seperti itu. Pembiaran terhadap transaksi haram meski terlihat kecil dan remeh, maka sama saja Pemerintah membiarkan terjadinya penimpangan ekonomi dan praktik korupsi yg dibalut dgn transaksi riba.

Misalnya, dgn menggelar penukaran uang di pasar / alun-alun kota dgn mobil keliling seperti yg pernah dilakukan Bank Indonesia di Jakarta. Hanya sayangnya, para calo jg ikut antri di situ. Akan lebih baik, jika bank-bank pemerintah di daerah jg melakukan hal yg sama. Bila perlu, dibangun posko penukaran uang di pasar-pasar tradisional / di tempat-tempat umum yg mudah dijangkau masyarakat.

Operasi semacam itu selain mempermudah akses penukaran uang bagi masyarakat, jg mencegah percaloan dan praktik riba yg mulai mewabah. Di samping Pemerintah, tokoh-tokoh ulama jg harus berperan aktif mensosialisasikan haramnya praktik penukaran uang yg bertendensi riba' agar kesucian bulan Ramadan ni tak tercemar oleh kemaksiatan dan kebobrokan ekonomi.
*********
Share ni agar kita dan orang-orang terdekat kita terhindar jauh dari yg namanya RIBA..!!
Sumber : akun facebook Abdullah Azzam

0 Response to "[Islami] WASPADA!! Riba Menjelang Lebaran"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *