This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Pertanyaan] Kesesatan Ahmadiyyah

Kesesatan Ahmadiyyah
Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Hal pertama yg ingin saya bahas tentang Ahmadiyah adlh perihal nama. Dari mana nama Ahmadiyah berasal? Tentu mudah ditebak. Asalnya dari nama pendirinya sendiri, yaitu Ghulam Ahmad. Akan tetapi, perlu jg diketahui bahwa sebenarnya para ulama kurang sepakat untk menyebutnya sebagai Ahmadiyah. Mengapa? Sebab, Ahmad itu nama lain Rasulullah s.a.w, jadi tak pantas disematkan pd aliran sesat. Kalau begitu, apa nama yg tepat? Ihsan Ilahi Zhahir, pakar dlm masalah aliran-aliran sesat, beliau menyebutnya: Al-Qadianiyyah. Istilah ni tepat sekali, karena Qadiani adlh wilayah tempat agama ni berasal. Menyebut Ghulam Ahmad pun tak perlu pakai “Mirza”, sebab “Mirza” adlh gelar terhormat. Sebagai gantinya, sebutlah Ghulam Ahmad al-Qadiani. Itu lebih pas.
Al-Qadianiyyah lahir di Qadiani, yg pd saat itu masuk dlm wilayah India ketika sedang dijajah oleh Inggris. Meski penganutnya kebanyakan orang India dan aliran ni lahir di India, tapi kenyataannya ia sangat akrab dgn Inggris. Sekarang pun Al-Qadianiyyah justru bergerak bebas di Inggris dan negara-negara Barat lainnya. Oleh karena itu, banyak yg menuduh Al-Qadianiyyah sebagai boneka Inggris. Di mana-mana, penjajah selalu bikin boneka, kan? Pas sekali, ketika India dijajah Inggris, Al-Qadianiyyah justru menyatakan jihad sudah tak diperlukan lagi. Kebetulan?
Di Indonesia sendiri, setidaknyabagi para ulamanya, Al-Qadianiyyah bukan persoalan baru. Ini perlu digarisbawahi. Karena bertahun-tahun tak muncul ke permukaan, nama Al-Qadianiyyah seolah tenggelam. Banyak yg tak tahu. Padahal, ulama-ulama Indonesia sudah mengenalnya sejak dulu. Buya Hamka dan A. Hassan berinteraksi langsung dengannya. Bahkan ayahanda Buya Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah, jg berdebat dgn Al-Qadianiyyah. Dan beliau wafat sebelum RI merdeka. Bisa dibayangkan betapa ‘usangnya’ persoalan Al-Qadianiyyah ini. Karena itu, jika kini MUI menyatakan bahwa Al-Qadianiyyah telah keluar dari Islam, maka ni bukan fatwa baru. Fatwa ni cuma memperkuat / ‘mengingatkan kembali’ akan fatwa-fatwa para ulama terdahulu tentang Al-Qadianiyyah. Karena itu, janganlah membela Al-Qadianiyyah dgn kata-kata “Jangan mudah mengkafirkan.” Memang mengkafirkan bukan perkara mudah. Hanya saja, masalah ni sudah tuntas dibahas sejak dahulu kala. Kalau Al-Qadianiyyah adlh masalah baru, tentu harus dicermati baik-baik, didiskusikan matang-matang, baru dijatuhkan vonisnya. Tapi Al-Qadianiyyah ni masalah lama sekali. Kalau generasi muda ada yg tak tahu, mungkin karena ada koneksi yg hilang dgn para ulama terdahulu. Buya Hamka membahas masalah Al-Qadianiyyah ni secara khusus dlm buku Pendidikan Agama Islam karyanya.

Ghulam Ahmad ini, menurut Hamka, telah menyebut dirinya dgn banyak predikat. Ia menyebut dirinya Imam Mahdi, sekaligus jg titisan Nabi ‘Isa a.s. Padahal semua tahu keduanya berbeda. Hamka jg menggarisbawahi keanehan lainnya, yaitu karena ia mengaku Imam Mahdi, padahal menolak jihad. Tentu saja klaim ni aneh. Sebab, hadits-hadits yg menjelaskan tentang Imam Mahdi menjelaskan bahwa beliau akan memimpin jihad. Selain itu, jihad adlh syariat Nabi Muhammad s.a.w. Tidak akan ada lagi Nabi yg turun untk meralat syariat tersebut.
Hamka mencatat bahwa pd awalnya umat Muslim bersimpati pd Ghulam Ahmad. Sebab, ia senantiasa berdebat dgn kaum misionaris Inggris. Suatu hari, ia berjanji akan menulis 50 buku untk mendebat Kristen. Umat Muslim pun ramai-ramai mengumpulkan dana. Apa dinyana, yg diselesaikannya hanya beberapa buku saja. Maka umat pun kecewa.
Al-Qadianiyyah masuk ke Indonesia pertama kali lewat beberapa siswa Sumatera Thawalib yg belajar ke India. Sumatera Thawalib adlh perguruan yg digawangi oleh ayahanda Hamka sendiri. Hamka mencatat bahwa pd masa itu sang ayah pun menulis kitab “al-Qaulush Shahih” untk membantah ajaran-ajaran Al-Qadianiyyah. Hamka jg menyebutkan bahwa polemik soal ‘titisan Nabi ‘Isa a.s’ ni tak menarik bagi mayoritas masyarakat Minang saat itu. Sebab, saat itu pergerakan Islam sedang ramai sekali untk melawan Belanda. Sumatera Thawalib dan Muhammadiyah berkembang pesat, dan semangat jihad pun berkobar. Al-Qadianiyyah yg anti jihad tentu diabaikan.
Pada tahun 1924, utusan Al-Qadianiyyah datang ke Yogya, bertemu dgn dua pengurus Muhammadiyah. Kedua tokoh Muhammadiyah tersebut adlh M. Ngabehi Joyosugito dan Mohammad Husni. Keduanya kemudian tertarik dgn ajaran Al-Qadianiyyah. Hamka mencatat bahwa saat itu KH Ahmad Dahlan baru dua tahun wafat, dan Muhammadiyah memang belum bersikap terhadap Al-Qadianiyyah. Pada tahun 1925, Syaikh Abdul Karim Amrullah berdebat dgn pemuka Al-Qadianiyyah di hadapan H. Fakhrodin. Setelah itu, jelaslah kesesatan Al-Qadianiyyah, dan Muhammadiyah pun dgn tegas menolak ajaran ini. Di Jawa Barat, Al-Qadianiyyah pun didebat keras oleh A. Hassan, sang pendiri Persis, gurunya Moh. Natsir.
Demikianlah sekelumit sejarah tentang Al-Qadianiyyah di negeri kita. Ini bukan hal baru. Jika ulama-ulama kini memfatwakannya sesat, maka fatwa itu sama sekali tak baru. Semoga kita dan keluarga kita dilindungi dari aliran-aliran sesat seperti Al-Qadianiyyah, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin...
Sumber: http://chirpstory.com/id/malakmalakmal

source : http://dailymotion.com, http://lintas.me, http://www.lampuislam.org

0 Response to "[Pertanyaan] Kesesatan Ahmadiyyah"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *