This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Islam Menjawab] Polemik Tentang Wanita dan Poligami

Polemik Tentang Wanita dan Poligami

Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Kayaknya seru jg kalau saya membahas tentang sebuah polemik yg pernah menghangat di Indonesia dahulu. Polemik yg saya maksud ni terjadi antara Moh. Natsir dan Soekarno. Bisa jg dikatakan bahwa polemik yg terjadi sebenarnya antara kubu ‘Islam’ dan yg menyebut dirinya ‘kubu kebangsaan’. Sebagaimana kita ketahui bersama, paham sekuler bukanlah hal baru di negeri kita. Ia sudah ada sejak lama. Sekularisme dibawa oleh kaum penjajah ke negeri ini, dan bertalian erat dgn misionarisme. Alasannya sederhana, yaitu karena Islam adlh musuh utama bagi kalangan penjajah. Oleh karena itu, dlm pandangan penjajah, rakyat Indonesia harus di-deislamisasi. Salah satu caranya, tentu saja, adlh dgn pemurtadan. Tapi kalau tak bisa dimurtadkan, cukuplah dgn disekulerkan. Kalau sudah sekuler, umat Muslim akan tetap menyebut dirinya Muslim, tapi merasa ringan, bahkan bangga, meninggalkan ajarannya. Istilah yg banyak beredar pd zaman Natsir-Soekarno dahulu adlh ‘netral agama’. Secara sederhana, sekularisme mengklaim dirinya bersikap netral terhadap semua agama. Tentu kita tahu bahwa klaim itu dusta saja.
Alkisah, Natsir merasakan salah satu pengalaman pahitnya dgn ‘netral agama’ itu dlm sebuah kongres di tahun 1929. Pada saat itu, Natsir menghadiri kongres yg bertujuan membahas langkah-langkah untk meninggikan martabat perempuan. Natsir hadir di sana sebagai wakil dari Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam besar pd masa itu. Dalam kongres tersebut, berbagai pembicara tamu diundang untk menyampaikan pemikirannya. Di antara para tamu, ada pula Soekarno yg mewakili PNI. Natsir pun mendapat jatah berbicara disana. Maka para pembicara pun tampil mengulas masalah kaum perempuan dari berbagai sisinya. Nama-nama para pendidik, tokoh-tokoh panutan masyarakat, banyak disebut. Bahkan tokoh-tokoh perwayangan pun tak ketinggalan. Pemikiran Mahatma Gandhi dan Sun Yat Sen jg ada yg mengulas. Pendek kata, nyaris lengkaplah.
Meski demikian, Natsir melihat belum ada yg bicara tentang pandangan Islam terhadap kaum perempuan. Maka tampillah Natsir untk membicarakan tentang masalah kaum perempuan dlm perspektif Islam. Sebuah kritik disampaikan oleh Natsir secara halus terhadap pandangan Soewarni, sang pimpinan rapat. Menurut Natsir, Soewarni banyak menggaribawahi sikap buruk kaum lelaki terhadap perempuan. Tidak dipungkiri lagi, banyak lelaki yg tak bersikap santun kepada perempuan dan ni tak dpt dibenarkan. Akan tetapi, jika Soewarni melihat dgn jernih, ia akan melihat bahwa Islam telah memuliakan perempuan sejak lama. Sebagai contoh, ulas Natsir, di Inggris, baru pd abad ke-19 kaum perempuan bisa menuntut ilmu di perguruan tinggi. Dalam khazanah peradaban Islam, sudah 13 abad lamanya kaum perempuan menikmati kesempatan belajar yg sama dgn laki-laki. Apa dinyana, pembicaraan Natsir dihentikan di tengah jalan. Alasan Soewarni adlh tak boleh membicarakan agama. Natsir mengelak, mengatakan bahwa yg dibicarakannya bukan agama, tapi peranan perempuan dlm Islam. Maka Soewarni pun memperbolehkan Natsir melanjutkan pembicaraannya, tapi hanya diberi waktu dua menit. Setelah Natsir selesai bicara, tak ada ucapan terima kasih dari pimpinan rapat, sebagaimana lazimnya adab dlm rapat-rapat semacam itu.
Begitulah orang-orang sekuler. Mereka menutup telinga dari kebaikan-kebaikan yg dibawa oleh agama meskipun kebaikan tersebut tak terbantahkan. Setelah Natsir, tampillah Soekarno. Dalam uraiannya, Soekarno mengomentari pendapat Natsir sebelumnya. Sikap ni dianggap janggal dan tak beretika, karena Natsir dan Soekarno sama-sama tamu. Tidak elok saling mengomentari seperti itu. Soekarno secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya menganut asas yg berbeda dgn rekan-rekan dari Jong Islamieten Bond (JIB). Soekarno pun menegaskan bahwa dirinya anti poligami, dan menurutnya, sikapnya ni niscaya akan ditentang pula oleh rekan-rekan Jong Islamieten Bond (JIB). Soekarno lalu mengatakan bahwa ia takkan ambil peduli pd hukum Islam / agama apa pun. Alasannya, karena ia tengah mengupayakan persatuan.
Polemik antara Natsir dan Soekarno jg terjadi di media massa. Natsir banyak mengkritik melalui media “Pembela Islam”. Dalam artikel-artikelnya, Natsir kerap mengkritisi pandangan kaum nasionalis-sekuler yg selalu menyakiti umat Muslim. “Pembela Islam” mendapat perhatian cukup banyak dari kalangan umat. Bertubi-tubi kritik dialamatkan pd Soekarno. Soekarno pun menyadari hal ini. Pada bulan Oktober 1929, ia mengundang para pemimpin ormas-ormas Islam di Bandung. Dalam pertemuan itu, anehnya, Soekarno menegaskan bahwa PNI tak anti poligami, tak anti agama, bahkan menjunjung semua agama. Padahal, pertemuan tersebut hanya berselang dua pekan saja dari kongres perempuan yg sebelumnya diceritakan.
Polemik semakin ‘semarak’ lagi ketika pd bulan yg sama, Ketua PNI Cabang Jakarta, Mr. Sartono, ikut bicara. Mr. Sartono dgn sangat tegas mengatakan bahwa PNI anti poligami. Sebelumnya, ia jg mengatakan bahwa kemerdekaan kaum perempuan di Indonesia lenyap setelah datangnya Islam. Tentu saja, ucapan Mr. Sartono di Jakarta berkebalikan dgn kata-kata Soekarno di Bandung. Kata-kata Soekarno di Bandung pun berlainan dgn kata-katanya sendiri beberapa waktu sebelumnya.
Tentu saja, sejarah mencatat bahwa inkonsistensi Soekarno bukan hanya dlm hal itu saja. Soekarno dikenal sangat dekat dgn dua ulama besar, yaitu Syaikh Abdul Karim Amrullah dan A. Hassan. Syaikh Abdul Karim Amrullah adlh ayahanda Buya Hamka. Soekarno pun menyebut beliau “Ayah”. A. Hassan adlh guru Moh. Natsir, yg merupakan lawan debat Soekarno, sekaligus tempat ‘curhat’ ketika di pengasingan. Ketika Soekarno diasingkan oleh Belanda, ia banyak berkirim surat dgn A. Hassan dan Natsir, meminta nasihat-nasihat agama. Akan tetapi, setelah Soekarno berkuasa (nyaris) mutlak, hubungannya memburuk dgn A. Hassan, Natsir, dan Buya Hamka. Hubungannya memang tak memburuk dgn Syaikh Abdul Karim Amrullah, karena beliau wafat sebelum RI merdeka.
Natsir dan Hamka, sebagai tokoh Masyumi, menjadi korban dari politik Orde Lama. Natsir dilucuti hak-hak politiknya, sedangkan Hamka malah ditahan dua tahun lamanya tanpa pengadilan. Tentang masalah poligami, Hamka pun pernah berpolemik hangat dlm perkara ini, walau tak secara khusus dgn pihak mana pun. Hal tersebut terlihat dlm sebuah tanya-jawab di rubrik yg diasuhnya dlm majalah “Gema Islam”. Dalam jawabannya, Hamka menjelaskan bahwa poligami adlh fakta yg terjadi dlm peradaban manusia. Dalam Islam, poligami dibatasi. Sebelum Islam datang, poligami nyaris tanpa aturan. Perempuan dianggap komoditi saja. Hal tersebut tak hanya terjadi dlm peradaban Islam saja, melainkan jg dlm peradaban-peradaban lainnya, termasuk Barat. Anehnya, kapan pun orang bicara poligami, yg disorot hanya Islam saja. Menurut Hamka, ada aturan-aturan yg sangat ketat dlm Islam untk menjalankan poligami.
Di sisi lain, poligami pun dpt menjadi solusi. Ini adlh sisi yg tak kalah pentingnya untk dipahami. Sebagai contoh, ada istri yg mandul. Poligami dpt menjadi solusi. Apakah ni berarti menelantarkan istri pertama? Justru karena tak ingin menelantarkan, maka poligami jadi solusi. Dengan demikian, keturunan didapat, sampai kapan pun istri jangan sampai ditelantarkan. Itulah kebaikan Islam. Ada pula janda-janda yg ditinggal mati suaminya, entah karena perang, sakit, / apa pun. Mereka pun butuh pertolongan. Di zaman Nabi s.a.w, para sahabat yg mati syahid didata dgn terperinci. Salah satu hikmahnya adalah, janda-janda tersebut mendapat perhatian. Maka, menikahi janda-janda tersebut adlh bagian dari semangat memberikan pertolongan. Merendahkan? Tentu tidak.
Kalau boleh saya tambahkan, yg perlu pertolongan bukan hanya perempuan-perempuan yg nasibnya ‘malang’. Ada jg perempuan-perempuan muda, cantik, dan berpendidikan tinggi yg jg bernasib malang. Diam-diam, mereka pun butuh pertolongan. Justru karena mereka muda, cantik dan berpendidikan tinggi, banyak lelaki yg ‘tak bernyali’ melamarnya. Sebaliknya, yg bernyali mendekatinya belum tentu lelaki baik-baik. Bisa jadi, mereka pun butuh pertolongan dari lelaki-lelaki mapan yg shaleh, yg ‘selevel’ dgn mereka.
Dalam Islam, menikah bukan ‘dari mata turun ke hati’. Kalau cuma itu, betapa rendahnya pernikahan. Kita melihat di dunia kini, orang berlomba-lomba ingin jadi cantik dan ganteng. Operasi plastik dianggap biasa, demi fisik sempurna. Saking ingin cantiknya, banyak perempuan melanggar kodratnya. Misalnya: mereka tak ingin hamil, karena ingin tetap langsing. Bagi manusia yg berakal sehat, tentu kita prihatin melihat masyarakat sekuler yg menyebut dirinya ‘modern’ ini. Bayangkan, usia sudah 40-an, tapi tiap harinya masih saja berjibaku ingin tampil seksi. Sementara itu, banyak jiwa-jiwa yg berbahagia di usia lanjut karena terhibur oleh kehadiran anak dan cucu.
Kembali pd polemik yg menyinggung banyak aspek sekaligus ini, termasuk jg masalah poligami. Kita perlu mengingat bahwa Islam memang membuka pintu untk poligami. Tapi bukan berarti semua harus melakukannya. Dengan demikian, yg membolehkan poligami belum tentu punya niat melakukannya. Seorang rekan saya malah berseloroh, “Yang ngomongin poligami biasanya cuma wacana. Nggak pernah dilaksanakan!” Sebaliknya, yg menyatakan dirinya menolak poligami belum tentu pula tak melaksanakannya. Di Barat, banyak yg memproklamirkan diri anti poligami. Tapi selingkuh sih rajin. Sama-sama punya pasangan lebih dari satu. Bedanya, dgn pasangan yg satu bertanggung jawab, dgn yg satu lagi ngumpet-ngumpet.
Antara Natsir, Hamka, dan Soekarno pun jelas ada perbedaan pandangan yg sangat tajam soal poligami. Kita tahu Natsir dan Hamka membolehkan poligami, tapi sampai akhir hayatnya mereka tak melaksanakannya. Akan halnya Soekarno, kita bisa melihat dari beberapa literatur, contohnya yg ini: Wanita-wanita Cantik dlm Kehidupan Soekarno. Konon, sedang dibuat pula film tentang istri-istri Soekarno. Patut dinantikan Di antara mereka yg melakukan poligami pun kita mesti jeli. Ada yg melanggar aturan, tapi ada jg yg tidak. Jangan terlalu mudah membolehkan poligami, tapi jangan menutup mata pula pd kisah-kisah suksesnya. Semoga polemik ni dpt menjadi pelajaran bagi kita semua. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.
Sumber: http://chirpstory.com/id/malakmalakmal

source : http://wikipedia.org, http://www.lampuislam.org, http://cnn.com

0 Response to "[Islam Menjawab] Polemik Tentang Wanita dan Poligami"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *