This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Islam Menjawab] Fiqih dalam Berdakwah

Fiqih dalam Berdakwah
Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal

Kali ni saya ingin berbicara tentang fiqih dakwah. Mungkin sekedar memperkenalkan. Bagi yg aktif dlm dakwah dan tarbiyah, fiqih dakwah sudah sangat akrab di telinga, lisan, dan pikiran. Fiqih dakwah secara sederhana adlh pendalaman materi seputar tata cara berdakwah. Dari namanya saja, kita bisa memahami bahwa dakwah memerlukan pendalaman, tak bisa asal-asalan. Mengapa dakwah tak boleh asal-asalan? Tentunya karena niat dakwah itu karena Allah s.w.t. Ada sedikit kerancuan dlm sikap saudara-saudara kita yg berdakwah tanpa menghiraukan tata caranya. Sebagian di antara mereka bilang, “Yang penting niatnya karena Allah, tak peduli pendapat manusia!” Padahal sebenarnya, kalau memang niatnya karena Allah, maka tentu dakwahnya akan dilakukan dgn sebaik mungkin.
Bagaimana dakwah yg baik? Kita punya banyak Nabi dan Rasul yg bisa menjadi contoh. Nabi Nuh a.s dgn sabar dan tekun mendakwahi umatnya. Berapa lama? Ratusan tahun! Hasilnya sedikit saja yg menjadi pengikutnya. Nabi Nuh a.s mengajarkan kita bahwa dakwah itu memang pekerjaannya orang sabar. Yang tak sabar, jangan berdakwah! Kata “dakwah” dekat artinya dgn “memanggil, menyeru, mendorong, meminta.”
Seakar dgn kata “doa”. Tentu dakwah beda dgn doa, tapi ada persamaannya. Dua-duanya sama-sama harus lembut. Mengapa harus lembut? Ya, sebab dakwah itu memanggil. Maukah kita dipanggil dgn kata-kata kasar? Sebagaimana kita tak mau diseru dgn kata-kata kasar, orang lain pun tak mau diperlakukan demikian. Oleh karena itu, dakwah pun ada tata caranya. Ada adab-adabnya, ada seninya. Dakwah bukan sekedar menyajikan fakta dan dalil tanpa mau tahu bagaimana respon yg mendengarkannya. Bahkan Nabi Musa a.s pun diperintahkan untk menyeru Fir’aun dgn kata-kata baik. Ini Fir’aun lho! Itulah sebabnya ketika seorang penguasa dinasihati dgn kata-kata kasar, ia memperingatkannya dgn kisah Fir’aun. Katanya, “Engkau tak sebaik Musa, dan aku tak seburuk Fir’aun. Mengapa engkau harus kasar?” Begitu kurang lebihnya.
Tentu, bahasa dan tata perilaku dipengaruhi jg oleh kedekatan. Misalnya, kepada kawan dekat, kritik bisa kita sampaikan tanpa perlu pikir panjang. Karena dia sudah dekat dgn kita. Tapi kepada yg baru kenal, harus hati-hati berbicara. Kalau dia tersinggung, dalil kita tak ada gunanya. Menjaga akhlaq adlh suatu keharusan bagi para da’i. Aneh kalau da’i justru bersikap kasar. Padahal, akhlaqul karimah senantiasa dijadikan konten dakwah. Sudah semestinya dijalankan sebelum diajarkan. Apa gunanya berdakwah soal akhlaq jika da’i-nya pun tak baik akhlaq-nya? Ini sama saja guru yg melarang siswa-siswanya merokok, padahal asap mengepul dari mulutnya. Dalam sebuah hadits, disebutkan “Barangsiapa yg beriman pd Allah dan Hari Akhir, berkatalah baik / diam!” Hadits shahih ni langsung mengaitkan ‘aqidah dgn akhlaq. Artinya, keduanya pasti berkaitan.
Islam itu komprehensif. ‘Aqidah yg benar pasti menghasilkan akhlaq yg baik. Sebaliknya, akhlaq yg buruk menunjukkan adanya ketidakberesan dlm ‘aqidah. Tentu saja, yg ‘aqidah-nya ‘belum beres’ sebaiknya tak menjadikan dirinya sebagai juru dakwah. Ada beberapa karakter yg harus dimiliki oleh para da’i. Yang pertama: amanah (terpercaya) dan shiddiq (jujur). Da’i harus dikenal sebagai pribadi yg amanah. Kalau tak begitu, obyek dakwahnya tak merasa ‘aman’. Penting sekali untk menjadi pribadi yg membuat orang lain merasa nyaman. Amanah ditambah shiddiq itu wajib bagi seorang da’i.
Syarat lainnya, tentu saja, adlh ikhlash. Artinya, niatnya bersih karena Allah. Niat adlh sesuatu yg harus dipelihara dan dibersihkan terus menerus. Awalnya berniat karena Allah, bisa saja setelah itu berbelok. Da’i yg ikhlas lillaahi ta’ala tak akan mementingkan egonya. Itulah sebabnya para Nabi bersabar dgn tabiat obyek-obyek dakwahnya, sebab mereka tak sedang perjuangkan ego. Dakwah karena Allah, balasannya dari Allah. Maka, tak boleh gampang marah / tersinggung. Karakter-karakter lainnya adlh rahmah (kasih sayang), rifq (lemah lembut), dan hilm (penyantun).
Kasih sayang adlh latar belakang dakwah. Kita berdakwah karena kita sayang. Kalau benar sayang, maka tak wajar kita bersikap kasar. Maka, seorang da’i harus lemah lembut. Obyek dakwah pd hakikatnya adlh orang-orang yg membutuhkan. Maka, da’i harus berjiwa penyantun.
Salah satu hal penting yg berkaitan dgn tiga karakter tersebut adlh dgn tak memberatkan obyek dakwah. Itulah sebabnya Rasulullah s.a.w marah pd sahabatnya yg memanjangkan bacaan shalat hingga berlebihan. Sebab, hal tersebut akan membuat sebagian obyek dakwahnya merasa berat. Bisa-bisa mereka jadi malas shalat. Karena itu, seorang da’i tak ‘menimpakan’ kewajiban yg terlalu berat pd para obyek dakwahnya. Sebaliknya, seorang da’i harus banyak-banyak belajar untk memaklumi kondisi mereka. Yang berbakat dakwah adlh yg pandai memaklumi orang lain.
Obyek dakwah berbeda-beda keadaannya. Da’i harus berempati. Misalnya ada orang yg jarang shalat. Jangan dimarahi dulu. Bisa jadi, orangtuanya tak pernah mengajarkan ia shalat. Belasan tahun ia tak diajarkan tata cara shalat. Apa kita bisa mengajarkannya rajin shalat hanya dgn satu / dua dalil? Kalau sebelumnya jarang shalat, maka konsisten shalat 5 waktu saja sudah bagus. Jangan disuruh ke masjid dulu. Kalau baru belajar konsisten shalat, jangan dipaksa Qiyamul Lail (shalat malam) / shalat Dhuha. Pelan-pelan, kita ikuti perkembangannya dulu. Baca Al-Qur’an masih terbata2, sudah disuruh baca satu hari satu juz? Nanti dulu, sabar, sabar. Kalau dipaksakan, obyek dakwah bisa futur (melemah) ibadahnya, bahkan insilakh (terputus sama sekali). Rasulullah s.a.w pun melarang kita ghuluw (berlebihan) dlm beribadah. Tingkatkan pelan-pelan, itu yg benar.
Masih banyak karakter-karakter lain, misalnya shabr (sabar). Dakwah adlh proyek ‘memodifikasi’ manusia, bukan memodifikasi robot. Manusia digerakkan oleh jiwanya. Jiwalah yg harus disentuh, tak seperti robot yg tinggal diutak-atik mesinnya. Kalau mesin sudah dimodifikasi, robot langsung berubah fungsi. Tapi manusia tak demikian. Untuk menyentuh jiwa, harus dgn jiwa pula. Senjata’ para da’i adlh hati. Hati yg sempit tak bisa menampung hati yg lain. Da’i harus berhati seluas samudera, bahkan lebih.
Dakwah jg harus proporsional. Tidak semua kasus harus disikapi dgn cara yg sama. Karena kemaksiatan bertingkat-tingkat, maka sikap kita terhadapnya pun harus disesuaikan. Sebagai contoh, orang yg shalat di akhir waktu jangan diperlakukan sama dgn orang yg tak shalat. Demikian jg shalat Subuh dgn / tanpa Qunut, jelas beda dgn yg tak shalat Subuh. Yang puasa tapi bergunjing beda dgn yg tak puasa. Yang pacaran beda dgn yg berzina.
Imam Ibnul Qayyim menasihati kita untk mempertimbangkan 4 kemungkinan dlm nahi munkar (menolak kemunkaran). Pertama, bisa jadi kemunkaran hilang dan berganti kebajikan. Ini paling ideal, harapan kita semua. Kedua, bisa jadi kemunkaran berkurang, tapi tak hilang. Ini pun baik, karena ada progress-nya. Ketiga, bisa jadi kemunkaran berganti dgn kemunkaran yg serupa. Ini berbahaya. Keempat, bisa jadi kemunkaran berganti dgn kemunkaran yg lebih parah. Na’uudzubillaah. Kemungkinan keempat kelihatannya sangat buruk, padahal cukup sering terjadi.
Ada sekelompok orang yg berbuat maksiat, lalu dinasihati dgn cara yg kasar dan dipermalukan. Efeknya? Mereka malah membenci da’i, membenci dakwah dan membenci Islam. Itukah hasil yg diinginkan dlm dakwah? Tentu tidak. Itulah sebabnya kita butuh fiqih dakwah. Ada beberapa kaidah penting dlm fiqih dakwah yg harus kita ketahui bersama. Pertama, memberi keteladanan sebelum berdakwah. Termasuk soal akhlaqul karimah, tentu saja. Kedua, mengikat hati sebelum menjelaskan, karena telinga lebih mudah mendengar kata-kata dari seorang sahabat. Ketiga, mengenalkan sebelum memberi beban. Jangan terburu-buru membebani obyek dakwah dgn setumpuk kewajiban. Keempat, bertahap dlm pembebanan. Mulai dari yg mudah-mudah dulu, dan hargai progress-nya. Kelima, memudahkan, bukan menyulitkan. Da’i hadir bukan untk mempersulit obyek dakwahnya. Keenam, yg pokok sebelum yg cabang. Hindari ikhtilaf, mulailah dari yg dasar dan pokok. Ketujuh, membesarkan hati sebelum memberi ancaman, karena obyek dakwah butuh dorongan, bukan tamparan. Kedelapan, memahamkan, bukan mendikte, karena obyek dakwah belajar dgn cara yg berbeda-beda. Kesembilan, mendidik, bukan menelanjangi, karena mereka adlh manusia yg punya jiwa. Jangan dipermalukan. Kesepuluh, muridnya guru, bukan muridnya buku. Buku memang bagus, tapi pendidikan hanya bisa dilakukan oleh guru.
Hal-hal di atas saya kutip dari buku fiqih dakwah karya Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz Buku lain yg berjudul fiqih dakwah ada karangan Syaikh Musthafa Masyhur, Moh. Natsir, dan lain-lain. Masih banyak hal lain yg belum dibahas disini, saya sarankan merujuk pd buku-buku tersebut. Jika engkau masih bersikap kasar dlm dakwah, maka sesungguhnya engkau telah membebani dakwah. Jika engkau masih suka bersikap kasar, maka sebaiknya didiklah dirimu sendiri terlebih dahulu, baru orang lain.
Saya akan tutup dgn mengingatkan kisah dakwah Hasan al-Banna di kedai-kedai kopi. Saat itu, rekan-rekannya skeptis. Hasan al-Banna saja yg pede berdakwah di kedai-kedai kopi. Ternyata, dakwah beliau sukses. Para pengunjung dan pemilik kedai-kedai kopi malah minta ceramah rutin. Mengapa beliau sukses? Sebab, beliau tak berniat menyakiti obyek dakwahnya. Beliau lemah lembut dlm berdakwah. Mereka yg skeptis mungkin berpikir bahwa dakwahnya akan ditolak. Ini karena dakwah dlm benaknya kurang lembut. Akan tetapi, Hasan al-Banna sejak awal memang berniat untk dakwah dgn lembut. Maka, ia pun pede melangkah, dan sukses.
Kalau benar berniat karena Allah, maka benahilah fiqih dakwah-mu. Kalau benar ikhlash karena Allah, berlemah lembutlah, agar banyak yg terpanggil oleh dakwahmu. Semoga kita terpilih menjadi orang-orang yg lemah lembut dlm dakwah. Semoga nama kita tertulis dlm bangunan dakwah Islam, meskipun cuma di sebongkah bata kecil saja. Aamiin…
Baca juga: Metode Berdakwah untk Mengajak Non-Muslim Masuk Islam
Sumber: http://chirpstory.com/id/malakmalakmal

source : http://stackoverflow.com, http://www.lampuislam.org, http://tempo.co

0 Response to "[Islam Menjawab] Fiqih dalam Berdakwah"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *