
ro2blog.blogspot.com - ٩ - ليس في السنة قِيَاسٌ
9. Tidak ada qiyaas dalam As-Sunnah.Penjelasan: Para ulama berbeda perkataan dlm menjelaskan maksud ucapan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah di sini. 1. Dikatakan maksudnya adlh tak boleh menyertakan sesuatu terhadap sunnah yg bukan termasuk darinya yg kemudian menjadikannya sebagai sunnah dan kita katakan sesuatu tersebut dinashkan dlm sunnah.2. Dikatakan juga, maksud qiyas di sini adlh qiyaasfaasid (qiyas yg rusak), yaitu qiyas yg bertentangan dgn nash dan ijmaa’. Ini adlh qiyas yg terlarang. Apabila didapatkan satu nash dlm satu permasalahan, maka tak boleh menentangnya dgn qiyas, karena pertentangan nash dgn qiyas menyebabkan qiyas tersebut rusak. Misalnya qiyas riba yg dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap jual-beli. Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Keadaan mereka yg demikian itu, adlh disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dgn riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba [QS. Al-Baqarah : 275]. Ini adlh qiyas yg rusak karena dilakukan untk menentang firman Allah ta’ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yg beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yg beriman [QS. Al-Baqarah : 278]. Contoh lain adlh qiyas yg dilakukan Ibliis ketika ia mengatakan: أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah [QS. Al-A’raaf : 12]. Ini adlh qiyas yg rusak karena dilakukan untk menentang firman Allah ta’ala: اسْجُدُوا لآدَمَ
Sujudlah kalian kepada Adam [QS. Al-Baqarah : 34]. Contoh lain adlh seseorang meninggalkan shalat ketika safar karena mengqiyaskan kebolehan tak berpuasa (berbuka) bagi seorang musafir. Apabila telah ada nash, maka tak boleh menentangnya/membantahnya dgn qiyas, tak dgn akal, tak dgn pendapat, dan tak dgn apapun. Kewajiban kita hanyalah tasliim (menerima). Allah ta’ala berfirman: فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dlm perkara yg mereka perselisihkan, kemudian mereka tak merasa keberatan dlm hati mereka terhadap putusan yg kamu berikan, dan mereka menerima dgn sepenuhnya [QS. An-Nisaa’ : 65]. 3. Dikatakan jg maksudnya tak ada qiyas dlm perkara ‘aqidah dan ibadah mahdlah (murni), karena keduanya bersifat tauqifiyyah, (ditetapkan berdasarkan nash). ‘Aqidah dan ibadah mahdlah ditetapkan tak berdasarkan ‘illat, karena Allah ta’ala berfirman: لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia (Allah) tak ditanya tentang apa yg diperbuat-Nya, tapi merekalah yg (kelak) akan ditanyai [QS. Al-Anbiyaa’ : 23]. Padahal qiyas sendiri ditetapkan berdasarkan ‘illat, dan ‘illat tersebut termasuk diantara rukun-rukunnya. Adapun qiyas antara perkara cabang dgn perkara pokok dlm suatu hukum karena ada kesamaan ‘illat - sebagaimana masyhur dlm bahasan fiqh/ushul fiqh - , maka ni diperbolehkan. Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: كان أحمد و غيره من فقهاء أهل الحديث يقولون إن الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى و إلا دخلنا في معنى قوله أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Ahmad dan yg lainnya dari kalangan fuqahaa’ ahli hadits berkata : Sesungguhnya pokok dlm ibadah-ibadah adlh tauqiif, sehingga tak disyari’atkan darinya kecuali apa-apa yg disyari’atkan oleh Allah ta’ala. Jika tak demikian, kita akan masuk dlm makna firman-Nya ta’ala : ‘Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yg mensyariatkan untk mereka agama yg tak diizinkan Allah?’ (QS. Asy-Syuuraa : 21) [Majmuu’ Al-Fataawaa, 29/17]. Contoh qiyas yg diperbolehkan adlh qiyas antara haramnya narkoba dgn (haramnya) khamr karena mempunyai ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Setiap yg memabukkan adlh khamr, dan tiap khamr hukumnya haram [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2003]. Yang menjadi cabang dlm hal ni adlh narkoba, sedangkan yg pokok adlh khamr. Contoh qiyas yg tak dipebolehkan adlh qiyas antara batalnya wudlu karena makan daging burung onta (an-na’aamah) dgn batalnya wudlu karena makan daging onta. Hukum pd perkara pokoknya (yaitu batalnya wudlu karena makan daging onta) tak memiliki ‘illat yg diketahui, akan tetapi ni adlh perkara murni ta’abbduiy (ibadah mahdlah) berdasarkan pendapat yg masyhur. Begitu jg dlm perkara ‘aqidah, maka tak ada qiyas, yaitu qiyas syumul dan qiyas tamtsil. Adapun aulawiyyah, maka diperbolehkan. a. Qiyas asy-syumuul : mengqiyaskan satu bagian kepada sesuatu yg umum yg mencakup seluruh bagian-bagiannya, sehingga tiap bagian tersebut masuk dlm yg umum baik lafadh maupun maknanya. Qiyas ni seperti silogisme berikut: PMy : Semua mamalia berkaki empat. PMn : Sapi adlh mamalia. K : Sapi berkaki empat. Qiyas ni boleh dan benar. PMy : Semua yg memiliki tangan adlh makhluk. PMn : Allah memiliki tangan. K : Allah adlh makhluk. Qiyas ni tak boleh dan tak benar. Akibat penggunakan logika qiyas ini, ahlul-bida’ telah terjerumus dlm kesesatan dlm menolak nash dan kemudian mentahrifnya (menyelewengkannya) kepada makna-makna yg menyimpang. Mereka katakan bahwa dikarenakan semua yg memiliki tangan adlh makhluk, maka tiap orang yg mengatakan Allah memiliki tangan mengkonsekuensikan anggapan bahwa Allah adlh makhluk. Ini tak benar, kata mereka. Oleh karena itu, ‘tangan’ di situ mesti ditakwilkan kepada makna lain seperti kekuasaan, kehendak, dan yg lainnya untk menghindari penyerupaan terhadap makhluk-Nya. Akibat dari logika qiyas ini, mereka menuduh Ahlus-Sunnah yg menetapkan sifat tangan bagi Allah ta’ala sebagaimana dhahirnya sebagai musyabbihah dan mujassimah. Logika qiyas yg mereka lakukan untk menolak nash itu tak benar karena Allah ta’ala telah menetapkan bagi diri-Nya mempunyai tangan, tapi tangan-Nya berbeda dgn tangan makhluk-Nya; sebagaimana Allah ta’ala menetapkan bagi diri-Nya sifat mendengar dan melihat, tapi kedua sifat ni berbeda dgn sifat makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yg serupa dgn Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [QS. Asy-Syuuraa : 11]. b. Qiyaas at-tamtsiil : menyamakan sesuatu dgn yg semisalnya, dgn menjadikan apa yg tetap bagi Allah seperti apa yg tetap bagi makhluk-Nya. Allah mempunyai tangan, makhluk jg mempunyai tangan. Jadi, tangan Allah sama seperti tangan makhluk. Qiyas ni jelas tak benar dgn dalil QS. Asy-Syuuraa ayat 11 di atas. c. Qiyas al-aulawiyyah : qiyas dimana perkara cabangnya lebih kuat dan lebih berhak terhadap hukumnya daripada pokoknya. Qiyas seperti ni diperbolehkan untk Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman: وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى
Dan Allah mempunyai sifat yg Maha Tinggi [QS. An-Nahl : 60]. Maknanya, semua sifat sempurna (dari makhluk-Nya - jika ada), maka Allah ta’ala memiliki sifat-sfat tersebut yg paling tinggi dan paling sempurna [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, 1/130]. Contohumumnya adlh mengqiyaskan larangan memukul dgn larangan perkataan ‘ah’ dan bentakan terhadap orang tua dlm firman Allah ta’ala: فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yg mulia [QS. Al-Israa’ : 23]. Maksudnya, jika perkataan ‘ah’ dan hardikan saja dilarang (ini perkara pokoknya), maka memukul (perkara cabang) tentu lebih kuat larangan dan pengharamannya. Adapun contoh penggunaan qiyas ni untk hak Allah adlh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ
Allah jauh lebih gembira dgn taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya, daripada salah seorang di antara kalian yg berada di atas hewan tunggangannya di tanah yg tandus.... [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2747]. Hadits ni menetapkan sifat gembira. Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا: لَا، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ فَقَالَ: لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
Apakah menurut kalian ibu ni tega melemparkan anaknya ke dlm api ?. Kami (para shahabat) menjawab : Tidak. Ia tak akan tega melemparkannya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah lebih sayang terhadap hamba-Nya daripada (kasih sayang) ibu ni terhadap anaknya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5999]. Hadits ni menetapkan sifat rahiim (penyayang). Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:١٠ - وَلَا تُضْرَبُ لَهَا الْأَمْثَالُ، وَلَا تُدْرَكُ بِالْعُقُولِ وَلَا الْأَهْوَاءِ، وَإِنَّمَا هُوَ الْاتِّبَاعُ وَتَرْكُ الْهَوَى
10. As-Sunnah tak boleh dibuat permisalan-permisalan dan tak boleh dipahami dgn akal semata dan hawa nafsu. Kewajiban yg ada hanyalah ittibaa’ dan meninggalkan hawa nafsu.Penjelasan: As-Sunnah tak boleh dibuat permisalan-permisalan, sehingga dikatakan ni seperti ni sehingga hukumnya demikian dan demikian. Ini dilakukan dlm rangka membantah As-Sunnah. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " تَوَضَّئُوا مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ "، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتَوَضَّأُ مِنَ الْحَمِيمِ؟ فَقَالَ لَهُ: يَا ابْنَ أَخِي إِذَا سَمِعْتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernha bersabda : Berwudlulah karena makan sesuatu yg dimasak oleh api. Ibnu ‘Abbaas berkata : Apakah mesti jg berwudlu karena minum air panas ?. Maka Abu Hurairah berkata : Wahai anak saudaraku, apabila engkau mendengar hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan engkau buat permisalan-permisalan [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 485; hasan]. Ibnu Maajah membawakan riwayat di atas secara lebih singkat dlm Bab : ‘Pengagungan terhadap Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Teguran terhadap Orang yg Menentangnya’ : عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ لِرَجُلٍ: " يَا ابْنَ أَخِي، إِذَا حَدَّثْتُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا، فَلَا تَضْرِبْ لَهُ الْأَمْثَالَ "
Dari Abu Salamah : Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata pd seseorang (yaitu Ibnu ‘Abbaas) : Wahai anak saudaraku, apabila aku menceritakan hadits kepadamu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau buat untuknya permisal-permisalan [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 22; hasan]. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: " اقْتَتَلَتِ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِحَجَرٍ، فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا، فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ، وَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ، فَقَالَ حَمَلُ بْنُ النَّابِغَةِ الْهُذَلِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَغْرَمُ مَنْ لَا شَرِبَ وَلَا أَكَلَ وَلَا نَطَقَ وَلَا اسْتَهَلَّ فَمِثْلُ ذَلِكَ يُطَلُّ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ مِنْ أَجْلِ سَجْعِهِ الَّذِي سَجَعَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Ada dua orang wanita yg saling bunuh dari suku Hudzail. Salah seorang diantara keduanya melempari batu kepada yg lain sehingga membunuhnya dan janin yg ada di perutnya. Maka mereka memperkarakannya ke hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memutuskan diyat bagi janinnya denda berupa budak laki-laki / budak perempuan. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun memutuskan diyat yg wanita terbunuh itu dibebankan kepada keluarga wanita pembunuh dan mewariskannya kepada anaknya dan keluarga yg bersama mereka. Hamal bin An-Naabighah Al-Hudzaliy berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana bisa aku menanggung denda orang yg tak bisa minum, tak bisa makan, tak bisa berbicara, dan tak bisa menangis ?. Maka yg semisal itu dibatalkan saja. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Orang ni hanyalah saudaranya para dukun - dgn sebab sajaknya yg ia katakan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6910 dan Muslim no. 1681]. Banyak sekali contoh yg lain dari salaf yg mereka membenci dan bersikap keras terhadap orang-orang yg menolak/meremehkan As-Sunnah. عَنْ عِمْرَان بْن حُصَيْنٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ " فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ فِي الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ وَقَارًا وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً، فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُحَدِّثُنِي عَنْ صَحِيفَتِكَ
Dari ‘Imraan bin Hushain, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Malu tak datang kecuali dgn kebaikan. Maka Busyair bin Ka’b berkata : Terulis di dlm buku hikmah bahwa mau itu ada yg merupakan kelemahan, / pula merupakan ketenangan. ‘Imraan berkata kepadanya : Aku menceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau menceritakan kepadamu dari lembaran-lembaranmu ? [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6117 dan Muslim no. 37]. Ibnu Hajar menukil pendapat ulama bahwa kemarahan ‘Imraan bin Hushain karena perkataan Busyair diucapkan untk menentang/menyelisihi perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [lihat : Fathul-Baariy, 10/552]. عَنْ أَبِي الْمُخَارِقِ، قَالَ: ذَكَرَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " نَهَى عَنْ دِرْهَمَيْنِ بِدِرْهَمٍ "، فَقَالَ فُلَانٌ: مَا أَرَى بِهَذَا بَأْسًا، يَدًا بِيَدٍ، فَقَالَ عُبَادَةُ: أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: لَا أَرَى بِهِ بَأْسًا، وَاللَّهِ لَا يُظِلُّنِي وَإِيَّاكَ سَقْفٌ أَبَدًا
Dari Abul-Mukhaariq, ia berkata : ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ‘anhu pernah menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang dua dirham ditukar dgn satu dirham. Lalu Fulaan berkata : Aku berpendapat itu tak mengapa, asalkan cash tangan dgn tangan. Maka ‘Ubaadah berkata : Aku berkata ‘telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’ dan engkau malah berkata : ‘aku berpandapat itu tak mengapa’. Demi Allah, aku dan engkau tak akan pernah berada satu atap selama-lamanya (karenanya) [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih]. عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: لَا تَخْذِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَذْفِ، أَوْ كَانَ يَكْرَهُ الْخَذْفَ، وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يُصَادُ بِهِ صَيْدٌ، وَلَا يُنْكَى بِهِ عَدُوٌّ، وَلَكِنَّهَا قَدْ تَكْسِرُ السِّنَّ وَتَفْقَأُ الْعَيْنَن "، ثُمَّ رَآهُ بَعْدَ ذَلِكَ يَخْذِفُ، فَقَالَ لَهُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْخَذْفِ أَوْ كَرِهَ الْخَذْفَ، وَأَنْتَ تَخْذِفُ، لَا أُكَلِّمُكَ كَذَا وَكَذَا
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal, bahwasannya ia pernah melihat seseorang yg bermain melempar-lempar kerikil (khadzaf). Ia berkata : Janganlah melempar-lempar kerikil. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang melempar-lempar kerikil - / beliau membenci melempar-lempar kerikil. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya melempar kerikil itu tak dpt membunuh binatang buruan dan tak dpt melumpuhkan musuh. Akan tetapi hanya mematahkan tulang dan menciderai mata’. Kemudian setelah itu, ia (Abdullah bin Mughaffal) kembali melihat orang itu bermain melempar-lempar kerikil. Lalu ia berkata kepadanya : Bukankah aku telah menyampaikan kepadamu hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang melempar-lempar kerikil - / beliau membenci melempar-lempar kerikil, sedangkan engkau masih melakukannya? Sungguh aku tak akan mengajakmu bicara demikian dan demikian [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5479 dan Muslim no. 1954]. عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: حَدَّثَ ابْنُ سِيرِينَ رَجُلًا بِحَدِيثٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَجُلٌ: قَالَ فُلَانٌ: كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: " أُحَدِّثُكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: قَالَ فُلَانٌ وَفُلَانٌ: كَذَا وَكذَا، لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا "
Dari Qataadah, ia berkata : Ibnu Siiriin pernah menceritakan kepada seseorang satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut berkata : Telah berkata Fulaan begini dan begitu. Maka Ibnu Siiriin berkata : Aku menceritakan kepadamu satu hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau berkata : ‘telah berkata Fulaan begini dan begitu’?. Aku tak akan berbicara kepadamu selamanya [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 443; shahih]. أخبرنا أبو بكر محمد بن عبد الله بن محمد بن زكريا الشيباني، أخبرنا أبو العباس محمد بن عبد الرحمن الدغولي، سمعت محمد بن حاتم المظفري يقول: كان أبو معاوية الضرير يحدث هارون الرشيد فحدثه بحديث أبي هريرة "احتج آدم وموسى"، فقال عيسى بن جعفر: كيف هذا وبين آدم وموسى ما بينهما؟ قال فوثب به هارون وقال: يحدثك عن الرسول صلى الله عليه وسلم وتعارضه بكيف؟ قال: فما زال يقول حتى سكت عنه
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Zakariyyaa Asy-Syaibaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Ad-Daghuuliy : Aku mendengar Muhammad bin Haatim Al-Mudhaffariy berkata : Dulu Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir pernah menceritakan kepada Haaruun Ar-Rasyiid. Maka ia menceritakan hadits Abu Hurairah : ‘Aadam berdebat dgn Muusaa’. Lalu ‘Iisaa bin Ja’far berkata : Bagaimana itu terjadi sedangkan antara Aadam dan Muusaa terpaut masa yg cukup jauh. Mendengar itu, Haarun meloncat berdiri seraya berkata : Diceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan engkau membantahkan dgn perkataan ‘bagaimana’ ?. Perawi berkata : Haaruun senantiasa mengulangnya gingga ia terdiam darinya [Diriwayatkan oleh ‘Ash-Shaabuhiy dlm ‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 126-127 no. 184; shahih]. Setelah menyebutkan kisah Haaruun Ar-Rasyiid di atas Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuniy rahimahullah berkata: هكذا ينبغي للمرء أن يعظم أخبار رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويقابلها بالقبول والتسليم والتصديق. وينكر أشد الإنكار على من يسلك فيها غير هذا الطريق الذي سلكه هارون الرشيد رحمه الله مع من اعترض على الخبر الصحيح، الذي سمعه بكيف؟ على طريق الإنكار له، والابتعاد عنه، ولم يتلقه بالقبول كما يجب أن يتلقى جميع ما يرد من الرسول صلى الله عليه وسلم.
Begitulah yg seharusnya dilakukan oleh seseorang untk mengagungkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menerimanya dgn penuh penerimaan, kepasrahan, dan pembenaran. Dan hendaknya ia mengingkari dgn sebesar-besar pengingkaran terhadap orang yg tak menempuh jalan ni yg ditempuh oleh Haaruun Ar-Rasyiid rahimahullah terhadap orang yg menentang hadits shahih yg ia dengar dgn perkataan ‘bagaimana (kaifa) ?’ dlm rangka pengingkaran dan menjauhkan diri darinya; bukan menerimanya sebagaimana keharusan bagi dirinya untk menerima semua yg dikhabarkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam [idem, hal. 127]. As-Sunnah tak boleh dipahami dgn akal semata dan hawa nafsu. ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berkata: لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ، لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ "
Seandainya agama ni diukur dgn akal pikiran semata, niscaya bagian bawa khuff (sepatu) lebih berhak untk diusap daripada bagian atasnya. Tapi aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khuff-nya [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 162; shahih]. Bagian bawah khuff yg menginjak tanah pd umumnya lebih kotor daripada bagian atasnya, sehingga secara akal yg perlu dibersihkan adlh bagian bawahnya. Tapi ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuff ketika bersuci, maka ia buang jauh-jauh logika akal tersebut dan hanya mengikuti apa yg ia lihat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lebih jelas lagi adlh riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berikut: عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah mendatangi hajar aswad lalu menciumnya dan berkata : Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau hanyalah sebuah batu yg tak memberikan kemudlaratan dan tak pula manfaat. Seandainya aku tak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tak sudi menciummu [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1597]. Akal sebenarnya mengatakan bahwa batu yg notabene tak dpt memberikan manfaat maupun mudlarat tak layak untk dicium / diusap-usap. Akan tetapi dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dlm rangkaian ibadah manasik haji (thawaf) untk mencium hajar aswad, maka ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pun menciumnya semata-mata karena ber-ittibaa’ kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. عَنْ سَهْل بْن حُنَيْفٍ، قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّهِمُوا رَأْيَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ لَقَدْ رَأَيْتُنِي يَوْمَ أَبِي جَنْدَلٍ وَلَوْ أَسْتَطِيعُ أَنْ أَرُدَّ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ لَرَدَدْتُهُ
Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata : Wahai sekalian manusia, curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian. Sungguh aku telah menyaksikan diriku pd peristiwa Abu Jandal, seandainya aku sanggup untk menolak perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, niscaya aku akan menolaknya.... [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3181 & 7308]. Maksud perkataan ‘curigailah pendapat kalian terhadap agama kalian’ adlh : Janganlah kalian beramal dlm perkara agama berdasarkan akal pikiran saja tanpa bersandar pd pokok dari agama [Fathul-Baariy, 13/288-289]. Oleh karena itu, orang rasionalis yg menyandarkan agamanya dgn akal pikirannya semata, tak akan pernah bersatu dgn Ahlus-Sunnah. Bahkan mereka adlh musuh yg keras terhadap sunnah dan orang-orang yg berpegang kepadanya. ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu berkata: أَصْبَحَ أَهْلُ الرَّأْيِ أَعْدَاءَ السُّنَنِ، أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيثُ أَنْ يَعُوهَا، وَتَفَلَّتَتْ مِنْهُمْ أَنْ يَرْوُوهَا فَاسْتَبَقُوهَا بِالرَّأْيِ
Ahlur-ra’yi (= orang-orang yg mengedepankan akal/rasionalis) telah menjadi musuh-musuh sunnah. Hadits-hadits telah menyebabkan mereka tak mampu untk menghapalkannya/memahaminya, sehingga mereka pun tak dpt meriwayatkannya. Lalu mereka bergegas untk mengambil pendapat dgn akal pikiran mereka [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dlm Al-Jaami’ no. 2001 & 2003 & 2004, Al-Baihaqiy dlm Al-Madkhal no. 213, Al-Laalikaa’iy dlm Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 201, dan yg lainnya; shahih]. Seperti yg terjadi di negeri kita ni dimana orang-orang Rasionalis sering mengejek orang-orang yg berpegang terhadap sunnah sebagai orang yg beragama dgn agamanya orang Arab. Tidak boleh menentang sunnah dgn akal, karena sunnah adlh wahyu yg terjaga dari kekeliruan, sedangkan akal diciptakan dgn penuh keterbatasan. Bukankah manusia ketika dilahirkan memiliki kadar akal minimal, kemudian akalnya berkembang dan mencapai batas maksimal ketika dewasa, dan kemudian akhirnya melemah hingga dpt kembali pd keadaan awal seperti ketika ia lahir dari perut ibunya?. Akal pun berbeda-beda kadarnya antara satu orang dgn orang yg lain. Apa yg ditetapkan sunnah sebagai kebenaran dan kebaikan, maka ia pasti benar dan baik. Berbeda halnya dgn akal. Permasalahan keterbatasan akal di sini lebih mudah digambarkan pd 5 orang buta yg disuruh mendeskripsikan seekor gajah yg ada di hadapan mereka. Tentu masing-masing akan berbeda-beda dlm pendeskripsiannya, karena masing-masing mendeskripsikan sebatas bagian tubuh gajah yg dpt dipegang dan kemampuan otaknya untk membayangkan apa sebenarnya yg mereka pegang. Seperti itulah gambaran akal manusia yg seringkali tak berhasil dlm melihat hakekat sesuatu secara keseluruhan. Hanya Allah ta’ala yang Maha Mengetahui hakekat apa yg Ia ciptakan secara keseluruhan, mana yg benar mana yg salah, mana yg bermanfaat dan mana yg tak bermanfaat, dan seterusnya. Berbicara masalah agama yg hanya mengandalkan akal semata, dpt menyebabkan seseorang berbicara tentang Allah ta’ala tanpa ilmu sehingga ia terjatuh dlm dosa besar yg paling besar. Allah ta’ala berfirman: قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yg keji, baik yg nampak / pun yg tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yg benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dgn sesuatu yg Allah tak menurunkan hujah untk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yg tak kamu ketahui" [QS. Al-A’raaf : 33]. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: فرتب المحرمات أربع مراتب وبدأ بأسهلها وهو الفواحش ثم ثنى بما هو أشد تحريما منه وهو الإثم والظلم ثم ثلث بما هو أعظم تحريما منهما وهو الشرك به سبحانه ثم ربع بما هو أشد تحريما من ذلك كله وهو القول عليه بلا علم
Allah ta’ala telah mengklasifikasikan perkara-perkara haram menjadi empat tingkatan. Allah memulainya dgn yg paling ringan, yaitu perbuatan-perbuatan keji (fawaahisy), kemudian Allah ta’ala menyebutkan yg lebih berat darinya, yaitu perbuatan dosa dan aniaya (kedhaliman). Kemudian Allah ta’ala menyebutkan yg ketiga yg lebih haram darinya, yaitu berbuat syirik kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Kemudian menyebutkan yg keempat yg lebih haram dari semuanya, yaitu berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu [I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/38]. Contoh kongkritnya adlh atheis. Keyakinan atheis (peniadaan tuhan) lebih berat daripada kesyirikan, karena atheis ni adlh peniadaan secara total sedangkan kesyirikan adlh peniadaan sebagian (peniadaan pengesaan Allah dlm ‘ubuudiyyah). Dan tidaklah paham atheis ni muncul kecuali karena adanya pengagungan terhadap akal. Mereka hanya percaya pd sesuatu yg dpt diindera. Dikarenakan Allah ta’ala tidak dpt diindera, maka mereka menyimpulkan Allah itu tak ada. Subhaanallaah. لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
Kepunyaan-Nya-lah semua yg ada di langit, semua yg di bumi, semua yg di antara keduanya dan semua yg di bawah tanah [QS. Thaha : 6]. إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dlm penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yg berakal, (yaitu) orang-orang yg mengingat Allah sambil berdiri / duduk / dlm keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ni dgn sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka [QS. Aali ‘Imraan : 190-191]. Kewajiban yg ada hanyalah ittibaa’. Allah ta’ala berfirman: اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Ikutilah apa yg telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik [QS. Al-An’aam : 106]. وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ni adlh jalan-Ku yg lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
0 Response to "Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (11) - As-Sunnah & Akal - Fatawa"
Post a Comment