Sebelum kamu baca lebih lanjut, baca dulu tulisanOlder Postjuga
Angin lembut berhembus masuk dari jendela kamar. Mencoba menerbangkan lembaran-lembaran kertas dalam novel tebal, hanya terangkat tanpa ada yg beterbangan. Lalu angin lembut menyebar, menerpa dinding-dinding. Bercampur dgn wangi lavender dari penggharum ruangan.
Kamar yg khas milik perempuan. Luas, dan dindingnya bercat pink. Ada gambar berbagai macam bunga yg terlukis di dinding. Mulai dari bunga mawar, melati, matahari, sampai edelwise. Satu lemari besar dgn kaca yg besar menyandar di dinding. Ada rak buku dgn jajaran buku yg rapi juga bersandar pd dinding. Di dekatnya, ada meja belajar beserta kursi, komputer, dan beberapa buku serta novel yg tergeletak di atas meja. Ada yg halamannya terbuka, ada yg tertutup.
Di lantai, tergerai karpet warna merah cerah. Di dekatnya spring bed yg cukup besar bewarna pink bermotif karakter piglet dalam serial kartun winnie the pooh. Lengkap dgn bantul guling bermotif sama. Banyak juga boneka warna-warni dgn berbagai ukuran tertata rapi di ujung tempat tidur. (Ini bukan jualan lhoh!) Benar-benar nuansa kamar remaja perempuan yg ceria.
Sayangnya, tak demikian dgn pemilik kamar yg sedang tengkurap di atas kasur dan menangis. Sinta. Benar! Gadis pemilik kamar adalah Sinta. Nampaknya, keceriaan enggan singgah di hatinya sore itu. Padahal hari itu sabtu yg cerah. Laporan berita di TVRI semalam menjelaskan keadaan cuaca di malang dan sekitarnya cerah berawan.
Di saat banyak remaja yg penuh kegembiraan menikmati hari sabtunya. Sinta meringkuk di dalam kamar dan menangis. Gara-garanya ya pacarnya itu. Siapa lagi kalau bukan Luki? Pacar barunya yg baru berumur satu bulan.
Sinta bisa mengerti Luki yg selain sekolah sibuk bekerja. Bahkan dia sangat simpatik, meski waktunya berkurang untuk bisa berdua. Seringnya hanya saat ada jam pelajaran kosong / saat istirahat. Itu pun tak setiap hari. Gadis itu bisa memaklumi kebiasaan Luki yg suka main sepak bola di sekolah, suka cuek kalau sibuk menggambar dan susah diajak bicara. Bahkan dia bisa memaafkan kebiasaan Luki yg suka ngumpul sama teman-temannya di saat Sinta ingin berdua. Tapi Sinta tak habis pikir dgn kebiasaan Luki di akhir minggu. Cara Luki menghabiskan akhir pekan membuatnya jengah. Sabtu sore yg seharusnya bisa dihabiskan untuk berkencan, Luki malah sibuk memperebutkan bola di atas lapangan futsal. Permainan yg bodoh. Kenapa harus berebut bola? Kenapa tak berbagi rata saja, memegang satu-satu? Bermain sampai malam, sampai lupa waktu. Belum lagi saat hari minggu. Pemuda itu suka susah diajak untuk keluar. Kebiasaan baru yg seperti anak kecil dua minggu terakhir karenanya. Berenang dgn teman-temannya. Menghabiskan waktu mulai pagi sampai siang di kolam renang. Terkadang sore hari baru pulang.
Lantas, kapan waktu buat Sinta? Kapan waktu untuk berdua dengannya? Kapan waktu untuk bisa lebih mesrah layaknya pasangan baru lainnya? Seminggu sampai dua minggu yg lalu Sinta berusaha menerima keadaan itu. Sampai di sabtu ini, dia benar-benar tak tahan lagi.
Saat sepulang sekolah tadi siang, Sinta menahan Luki yg saat itu ingin buru-buru pulang. Pemuda itu ingin segera makan, dan bersiap buat futsal.
“Luk, jangan pulang dulu ya!”
“Aku harus buru-buru pulang Sin, aku ada futsal nanti sore!”
“Hari ini jangan futsal ya! Temani aku jalan-jalan ke mall!” Pinta Sinta dgn lembut.
“Jangan hari ini ya! Atau kamu bisa pergi sendiri!”
“Aku maunya sama kamu!”
“Bisa pergi dgn Riri dan teman-temanmu yg lain juga kan!” Ujar Luki
“Mereka sudah punya acara dgn gebetan / pacar mereka” Sinta menyindir
“Maaf ya Sin, aku nggak bisa mangkir futsal hari ini. Aku sudah janji sama anak-anak!” Ujar Luki kalem “Kita bisa pergi minggu depan Sin! Ya mesti kamu tahu aku rada alergi sama mall, suka bersin-bersin sama gatal-gatal kalau masuk mall” Canda Luki dgn polosnya.
“Janji? Lalu janjimu di awal dulu buat nyenengin aku gimana?” Nada suara Sinta meninggi.
Luki kaget, dia terdiam sesaat. Kenapa Sinta? Batinnya.
“Aku ingin berdua sama kamu Luk, kita jalan bareng, keluar bareng! Aku pingin kayak gitu Luk!”
“Ooh... jadi kamu ingin menghabiskan waktu bersama?”
Sinta mengangguk
“Kenapa nggak bilang dari tadi? Ayo, nanti aku jemput!”
Raut muka Sinta mulai merona karena senang.
“Kita ke tempat futsal bareng, aku main dan kamu nonton sambil nyemangatin! Pasti mainku langsung tambah bagus!” Ujar Luki dgn riangnya.
“Luki!” Sentak Sinta, dia jengah, dia marah, kecewa dgn jawaban Luki.
“Kamu kok nggak ngerti-ngerti sih?” Nada suara Sinta meninggi, lebih tinggi dari sebelumnya.
“Aku inginnya kita keluar berdua, bukan nontonin kamu sama teman-temanmu melakukan hal bodoh! Sekumpulan laki-laki berebut satu bola!”
“Itu lebih baik daripada harus keliling mall sampai kakai mau patah rasanya!” Nada suara Luki ikut meninggi, amarahnya terpancing “Menjemukan! Membosankan! Lihat sana lihat sini, menghabiskan uang! Bahkan hanya melihat, dan belum tentu beli!”
“Kenapa kamu nggak bisa mengalah? Sekali saja!”
“Mengalah? Aku sering menurutimu, maumu, keinginanmu!”
“Menuruti katamu?” Mata Sinta semakin melotot, “Saat aku ingin berdua, kamu dimana? Sibuk menggambar hal bodoh! Menghabiskan waktu dgn teman-temanmu! Bermain sepak bola! Futsal! Dan lebih bodoh lagi menghabiskan akhir minggumu dgn berendam di kolam renang seharian! Egois!”
“Kamu yg egois! Memaksakan kehendak! Membuat aku harus seperti maumu!”
“Kau kekanak-kanakan!” Bentak Sinta, tubuhnya berbalik. Langkahnya cepat dan lebar, menjauh dari Luki yg ikut memalingkan muka. Tak ingin melihat perempuan yg baru saja bertengkar dengannya.
Dan sejak di dalam mobil, sampai di rumah, hingga saat ini. Sinta tak berhenti menangis. Sesak sekali dadanya. Kepalanya sakit. Pertengkaran tadi siang masih berputar-putar di kepalanya.
Kenapa harus begini? Kenapa Luki jahat? Kenapa dia tega? Saat sudah bisa bersama dgn seseorang yg benar-benar dicintai, kenapa harus jadi begini? Kenapa tak bisa bahagia? Ratap gadis itu dalam tangisnya.
Tiba-tiba dari luar rumah terdengar musik penjual es krim di depan rumahnya. Semakin dekat, dan terdengar berhenti di depan rumah. Lama sekali, suaranya mengusik tangis Sinta. Gadis yg sudah terbakar amarah itu ingin memaki si penjual es krim yg tak tahu situasi.
Sinta bangkit, dgn cepat dia menuju jendela kamarnya. Melihat keluar, ke depan pagar.
“Penjual es krim sialan!” Makinya pelan, mata gadis itu mengamati lebih teliti. Ada seseorang yg dikenalnya. Dia kaget, Luki di sana. Berdiri di depan pagar bersama penjual es krim.
“Ngapain anak itu? Mau ngajak berantem lagi?”
Luki memencat bel, suara bel mulai berbunyi. Sinta buru-buru keluar kamar. Saat di dekat pintu ruang tamu, dia mendapati bi Ana hendak membuka pintu. Sinta buru-buru mencegahnya.
“Bi...Bibi...Jangan!” Teriak Sinta sambil berlari mendekati bi Ana. Bi Ana pun menoleh.
“Bilang saya nggak ada di rumah bi!”
“Kenapa non? Itu kan mas Luki?”
“Udah biarin! Turutin saja apa kata saya!” Ujar Sinta sinis sambil melirik keluar di balik tirai jendela.
Bi Ana pun keluar, menghampiri Luki. Dia nampak berbicara sebentar lalu kembali lagi menemui Sinta yg sembunyi di balik pintu namn masih mengintip dari jendela.
“Gimana bi?”
“Mas Luki bilang, mau nungguin non sampai pulang! Dia sengaja nyetop tukang es krim karena pingin makan es krim sepuasnya sama non Sinta” Jawab bi Ana, “Terus dia pesen sesuatu buat non Sinta”
“Apa bi?”
Bi Ana ragu untuk mengucapkannya. Dia nampak menahan tawa. Lalu dia memaksakan bibirnya untuk bicara saat Sinta memintanya bicara untuk kedua kalinya.
“Kalau lagi keluar, wajahnya jangan sampai ketinggalan di jendela! Nanti bisa dicuri orang!”
Sinta langsung speechless. Dia malu, bercampur marah. Gadis itu benar-benar tambah sewot. Dia buru-buru meminta bi Ana untuk pergi. Tinggal Sinta yg terus sembunyi di balik pintu sambil mengintip Luki yg tak pergi-pergi.
“Kamu mau minta maaf? Jangan harap bakal kumaafin! Caramu cuman niru yg di sinetron-sinetron! Norak! Nungguin di depan rumah sampai si gadis luluh! Nggak bakal mempan buatku!”
Lama sekali Luki belum nyerah-nyerah juga. Bahkan sampai hari sudah hampir gelap. Sementara Sinta sudah semakin jengkel dgn keberadaan Luki. Bukannya usaha buat minta maaf, pemuda itu malah asyik makan es krim sambil bercanda- canda ringan dgn penjual es krim. Kesabaran Sinta akhirnya tak terbendung lagi. Gadis itu keluar rumah menghampiri Luki dgn wajah berang.
Luki sebenarnya rada takut juga. Tapi dia berhasil memasang senyum ramah.
“Sinta? Sudah pulang? Lewat mana?” Canda Luki
“Kamu ngapain sih disini? Mau minta maaf? Nggak mempan!”
“Nggak kok, aku mau ngasih es krim dulu!” Luki mengulurkan semangkuk es krim ke arah Sinta, “Buruan di makan, sebelum mencair!”
Tapi Sinta dgn kasar menangkis es krim yg diberikan ke arah Luki hingga mengotori kaosnya.
“Kamu mau nyogok? Kotor sekali caramu buat minta maaf!” Maki Sinta, lalu berpaling pergi. Meninggalkan Luki yg diam saja. Memandangi kekasihnya yg masuk rumah dgn masygul.
*****
Senin pagi, Sinta dgn ragu masuk ke dalam kelas. Dia takut bertemu Luki. Dia masih belum siap bertemu pacarnya yg menyebalkan itu. Tapi dia juga nggak bisa kalau hanya karena Luki dia nggak masuk kelas. Ikut pelajaran itu untuk masa depannya. Untuk orang tuanya. Lebih penting daripada mengurusi Luki yg menjengkelkan itu.
Dengan takut-takut Sinta melongokkan kepala ke dalam kelas. Ternyata masih sepi. Hanya satu dua anak saja. Sinta berjalan santai menuju bangkunya. Saat hampir sampai di bangkunya, seseorang memanggilnya. Saat ditengok, ternyata Kemed. Pemuda gundul, kecil, dan hitam itu menghampiri Sinta.
“Mana Luki, Sin?”
“Mana aku tahu!” Jawab Sinta judes.
“Wah, anak itu belum datang ya! Padahal aku sengaja datang pagi mau nyeritain soal futsal kemarin”
Mendengar kata futsal Sinta tambah sebel. Hampir saja dia mengusir Kemed dari hadapannya. Tapi nggak jadi, entah kenapa dia ingin mendengar cerita Kemed lebih jauh lagi.
“Aku ingin memarahi anak itu, final turnamen kemarin kelas kita jadi kalah. Gelar juara melayang!”
“Turnamen?” Tanya Sinta
“Iya turnamen, kelas kita kan ikut turnamen beberapa minggu ini! Padahal sudah susah payah sampai final, tapi harus kalah juga! Habisnya nggak ada Luki sih! Penyerang kita jadi nggak ada! Tiba-tiba saja nggak nongol di tempat futsal! Sialan tuh anak!”
“Hah! Nggak datang?” Sinta kaget.
“Iya, anak itu nggak datang! Memang kemana sih anak itu sampai nggak datang? Padahal katanya turnamen ini penting buatnya! Dia mau minjam uang hadiahnya buat ngerayain satu bulanan jadiannya sama kamu!”
Sinta semakin tercekat. Pikirannya melayang. Semua yg dikatakan Kemed selanjutnya tak terdengar lagi. Dia malu, dia ingin menangis. Ngilu rasanya di dada.
*****
Sepanjang pelajaran hati Sinta resah. Dia malu untuk bertemu Luki. Sekedar menatapnya pun tak sanggup. Dia merasa bersalah. Tapi, walau bagaimanapun. Gadis itu sadar dia harus minta maaf. Dia ingin baikan sama Luki. Disisi lain hatinya ada rasa takut. Takut Luki marah atas perlakuannya kemarin. Padahal Luki sudah merelakan futsalnya, turnamennya, hadiahnya, bahkan keinginannya untuk merayakan hari jadi dgn Sinta yg sebulan.
Sampai akhirnya sepulang sekolah, Sinta menahan Luki untuk tak pulang lebih dulu. Di dalam kelas tinggal mereka berdua.
“Luk!”
Pemuda yg disapa masih diam.
“Aku mau minta maaf! Aku yg salah! Aku sudah dengar semua dari Kemed! Turnamen itu, termasuk niat kamu buat ngerayain jadiannya kita yg sebulan!” Ujar Sinta lalu menunduk malu.
Luki diam beberapa saat. Lalu bibirnya tersenyum, kemudian menghembuskan nafas lega.
“Akhirnya es krimnya mencair juga!”
Sinta mengangkat wajahnya. Dia tak faham maksud perkataan Luki.
“Sialan si Kemed, kenapa dia cerita seenaknya sama kamu?”
“Kamu nggak marah Luk?”
“Marah? Sempat jengkel sih! Tapi aku lebih takut buat kehilangan kamu!”
Sinta tersenyum lega.
“Lain kali, kalau kamu ingin keluar bareng setidaknya kamu bilang dulu. Minimal satu hari sebelumnya ya? Kan kalau kamu nggak bilang, aku nggak tahu apa yg kamu inginkan. Siapa yg bisa menebak isi hati seseorang?” Ujar Luki.
Sementara Sinta tersenyum kagum. Diam-diam, dia semakin kagum dgn kedewasaan kekasihnya itu. Semakin kagum dgn Luki yg selalu penuh rahasia. Luki yg penuh kejutan.
Sinta sudah memutuskan, lain kali nggak akan mudah marah-marah lagi. Marah-marah juga bukan hal yg baik. Bisa menghancurkan suatu hubungan. Bisa memupuskan kebahagiaan yg diimpikan. Sudah banyak pertemanan, persahabatan, sepasang kekasih yg hubungannya berakhir karena amarah. Bahkan yg terburuk, hubungan saudara pun bisa merenggang.
0 Response to "ES KRIM MENCAIR 48265"
Post a Comment