This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Kisah Islam] Panduan Cara Menunaikan Ibadah Haji

ro2blog.blogspot.com - Saya akan menjelaskan sekilas dan secara singkat tata cara melakukan ibadah haji, yaitu: apabila seseorang hendak melakukan ibadah haji ataupun umrah, maka hendaknya ia berangkat ke Mekkah pd bulan-bulan haji, dan afdhalnya adlh berihram di miqat untk umrah agar haji yg dilakukannya adlh haji tamattu’. Ia memulai ihram umrahnya dari miqat, dan sesaat sebelum berihram hendaknya mandi terlebih dahulu seperti mandi dari janabat, rambut kepala dan jenggot dioles dgn minyak wangi (farfum), lalu berpakaian ihram. Sebaiknya memulai ihramnya setelah usai melakukan shalat fardhu, jika memang waktunya telah masuk, / sesudah melakukan shalat sunnah wudhu; sebab tak ada shalat sunnat khusus untk ihram dan tak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Kemudian bertalbiyah dgn mengucapkan:
لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ عُمْرةً، لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ لَبَّيْكََ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شرِيْكَ لَكَ.
Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untk berumrah, Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah aku penuhi; aku penuhi panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu; Sesungguhnya segala puji dan kenikmatan adlh milik-Mu dan begitu pula kerajaan, tiada sektu bagi-Mu.Panduan Cara Menunaikan Ibadah Haji Panduan Cara Menunaikan Ibadah Haji
Talbiyah tersebut terus dilakukan hingga tiba di Mekkah. Talbiyah dihentikan apabila akan memulai thawaf; thawaf dimulai dgn mengusap dan mengecup Hajar Aswad jika hal itu memungkinkan, tapi jika tidak, maka cukup dgn berisyarat saja kepadanya sambil mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ إِيْمَانًا بِكَ، وَتَصْدِيْقًا بِكِتَابِكَ، وَوَفَاءً بِعَهْدِكَ، وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dengan menyebut nama Allah, dan Allah Mahabesar; Ya Allah, karena iman kepada-Mu, percaya kepada kitab suci-Mu, dan karena memenuhi janji-Mu serta mengikuti sunnah nabi-Mu Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam.
Posisi Ka’bah harus berada pd posisi sebelah kiri dan berputar mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dan diakhiri pd Hajar Aswad. Bagi laki-laki disunnatkan berlari-lari kecil pd putaran ketiga pertama dgn cara mempercepat jalan dan memperpendek langkah serta melakukan idhthiba’ selama thawaf, yaitu membiarkan pundak kanan terbuka sedangkan pundak kiri tertutup oleh kain ihram (diselendangkan). Dan tiap kali berada pd posisi sejajar dgn Hajar Aswad bertakbir (mengucapkan: Allahu Akbar), dan di saat berada di antara sudut Rukun Yamani dan Hajar Aswad berdoa dgn membaca:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia ni dan kebaikan di akhirat kelak, dan hindarkanlah kami dari adzab api Neraka.
Untuk selebihnya boleh berdzikir dan berdoa dgn dzikir / doa apa saja yg kita kehendaki. Dalam thawaf tak ada doa tertentu pd tiap putarannya, maka dari itu hendaknya kita waspada terhadap berbagai buku kecil yg ada di tangan para jama’ah haji, yg di dlm buku itu ditulis doa khusus untk tiap putaran thawaf; itu semua adlh bid’ah tak pernah dilakukan / diajarkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, sementara beliau sudah menegaskan: Setiap bid’ah itu adlh kesesatan.
Ada satu perkara yg wajib diperhatikan oleh orang yg melakukan thawaf, yaitu kesalahan yg dilakukan oleh sebahagian jama’ah pd waktu ramai (berdesak-desakan); mereka thawaf masuk lewat pintu Hijir Isma’il dan keluar dari pintu yg lain. Mereka tak menyertakan Hijir Isma’il itu sebagai bagian Ka’bah yg wajib di thawafi. Ini adlh suatu kesalahan, sebab Hijir Isma’il itu sebagian besarnya termasuk bagian Ka’bah, maka barangsiapa yg thawaf dgn menerobos lewat pintu Hijir itu, maka berarti tak memutari (thawaf) Ka’bah dan thawafnya tak shah.
Seusai melakukan thawaf hendaklah shalat dua raka’at di belakang Maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan; tapi jika tak memungkinkan, maka hendaklah shalat di mana saja di dlm Masjidil Haram itu. Setelah itu pergi menuju Shafa dan apabila telah mendekatinya membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ ...
tanpa mengulanginya kembali sesudah itu. Kemudian naik ke atas Shafa, menghadap ke Qiblat (Ka’bah) lalu mengangkat kedua tangan dan bertakbir serta bertahmid, lalu mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
Kemudian berdoa, lalu mengulang dzikir tersebut, lalu berdoa lagi, berdzikir yg ketiga kalinya.
Setelah itu turun menuju Marwa dgn berjalan kaki biasa hingga sampai pd tanda hijau (tiang hijau), dari tanda hijau itu berjalan cepat (lari-lari kecil) jika hal uitu memungkinkan dan tak mengganggu orang lain, hingga sampai pd tanda hijau berikutnya, lalu berjalan seperti biasa hingga sampai di Marwa. Apabila telah sampai di Marwa, naik ke atasnya dan menghadap ke Qiblat sambil mengangkat kedua tangan dan membaca bacaan seperti yg dibaca di Shafa. Maka dgn demikian selesailah satu putaran.
Kemudian, dari Marwa kembali berjalan menuju Shafa, ni adlh putaran yg kedua. Bacaan yg dibaca sama dan yg dikerjakan pun sama dgn yg dikerjakan pd putaran pertama tadi. Apabila telah sempurna melakukan tujuh putaran, (dari Shafa ke Marwa dihitung satu putaran dan dari Marwa ke Shafa satu putaran) yg berakhir di Marwa, maka hendaklah menggunting seluruh bagian rambut kepala (memendekkannya) hingga benar-benar tampak pendek. Sedangkan kaum wanita cukup memotong ujung rambutnya sepanjang ujung jari kemudian bertahallul dari ihramnya secara sempurna, melakukan apa saja yg dihalalkan oleh Allah Subhannahu wa Ta\'ala seperti mencampuri istri, berwangi-wangian dan berpakaian biasa serta lain-lainnya.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah berihram kembali untk ibadah haji. Dimulai dgn mandi, memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian ihram. Setelah itu pergi menuju Mina dan melakukan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh di sana (shalat lima waktu). Shalat Zhuhur, ‘Ashar dan Isya dilaksanakan secara qashar (dipersingkat menjadi dua raka’at) masing-masing pd waktunya dgn tak men-jama’nya. Jadi hanya mengqashar saja selama berada di Mina.
Pada keesokan harinya (tanggal 9, hari ‘Arafah) setelah matahari terbit, berangkat lagi menuju padang Arafah, dan jika memungkinkan tinggal di (masjid) Namirah. Tetapi jika tak memungkinkan maka langsung menuju kawasan Arafah kemudian singgah di sana, lalu apabila matahari sudah condong ke arah barat, lakukanlah shalat Zhuhur dan ‘Ashar dgn cara qashar dan taqdim, setelah itu habiskanlah sisa waktu untk dzikir mengingat Allah, berdoa kepada-Nya, membaca Al-Qur’an dan amalan-amalan yg dpt mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta\'ala. Dan hendaklah saat-saat akhir hari itu digunakan untk berdoa kepada Allah secara serius, karena saat-saat itu merupakan saat-saat mustajab.
Apabila matahari telah terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah, setibanya di sana lakukanlah shalat Maghrib dan ‘Isya’ secara jama’ qashar ta’khir, dan hendaknya tetap berada di Muzdalifah hingga shalat Subuh. Setelah itu berdoa kepada Allah Subhannahu wa Ta\'ala hingga cahaya tampak terang sekali, kemudian berangkat melanjutkan perjalanan menuju Mina. Bagi orang-orang yg tak mampu menghadapi desakan para jama’ah (di waktu melontar Jumrah) boleh berangkat dari Muzdalifah sebelum fajar Subuh terbit, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah memberikan keringanan (rukhshah) untk hal yg demikian.
Apabila telah sampai di Mina bergegaslah melontar Jumrah ‘Aqabah dgn tujuh lontaran (lemparan) dgn menggunakan tujuh biji batu kerikil kecil, pd tiap lontaran dibarengi dgn takbir (membaca: Allahu akbar), setelah itu menyembelih hewan hady yg telah disiapkan sebelumnya, lalu mencukur habis rambut kepala. Mencukur habis rambut kepala itu lebih baik dan lebih utama daripada memendekkannya saja, tetapi jika hanya dipendekkan saja, maka tak mengapa. Bagi wanita cukup memotong ujung rambutnya saja kira-kira seujung jari. Dengan demikian selesailah melakukan tahallul pertama, maka boleh baginya melakukan semua larangan ihram kecuali jima’ (bersetubuh).
Setelah itu pergi ke tempat peristirahatan (kemah) untk berbersih diri (mandi dll), berwangi-wangian dan memakai pakaian biasa, setelah itu berangkat menuju Mekkah untk melakukan thawaf ifadhah sebanyak tujuh putaran dan sa’i di Shafa dan Marwa sebanyak tujuh putaran juga. Thawaf dan sa’i tersebut adlh untk thawaf dan sa’i haji, sebagaimana thawaf dan sa’i yg dilakukan di waktu pertama datang ke Mekkah sebagai thawaf dan sa’i umrah. Maka dgn (melakukan thawaf ifadhah dan sa’i tersebut) boleh melakukan apa saja, termasuk bersetubuh dgn istri.
Mari kita perhatikan apa yg harus dilakukan oleh jama’ah haji pd hari ‘Idul Adha (10 Dzulhijjah)? Jama’ah haji pd hari ‘Idul Adha melakukan: melontar jumrah ‘Aqabah, lalu menyembelih hady (hewan kurban), lalu mencukur / memendekkan rambut kepala, lalu thawaf, dan kemudian sa’i. Itulah lima manasik haji yg dikerjakan secara berurutan, tapi jika dilakukan tak secara berurutan maka tidaklah mengapa, karena pd suatu ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ditanya tentang mendahulukan yg satu dan menunda yg lain, maka tiap pertanyaan tentang mendahulukan dan mengakhirkan salah satu dari lima macam manasik tersebut beliau jawab, Lakukanlah dan tak mengapa.
Karena itu, jika dari Muzdalifah langsung menuju Mekkah, lalu di sana melakukan thawaf dan sa’i kemudian ke Mina dan melontar, maka tak mengapa; seandainya melontar lalu mencukur rambut sebelum menyembelih hady jg tak mengapa; jika melontar lalu pergi ke Mekkah dan mengerjakan thawaf dan sa’i, jg tak mengapa; dan jikalau setelah melontar, menyembelih dan mencukur rambut lalu pergi ke Mekkah dan melakukan sa’i sebelum melakukan thawaf, jg tak mengapa. Yang penting adlh bahwa mendahulukan salah satu di antara lima macam manasik tersebut terhadap yg lainnya boleh-boleh saja, karena tiap pertanyaan yg diajukan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tentang hal tersebut beliau jawab, Lakukan dan tak mengapa. Itu terhadapsemua merupakan bagian dari kemudahan dan belas kasih dari Allah hamba-hamba-Nya.
Amalan-amalan ibadah haji yg masih tersisa sesudah itu adlh mabit (bermalam) di Mina pd malam tanggal 11, 12 dan 13 bagi yg pulang lebih akhir, karena Allah Subhannahu wa Ta\'ala telah berfirman,
Dan berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dlm beberapa hari yg berbilang. Barangsiapa yg ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yg ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tak ada dosa baginya, bagi orang yg bertaqwa. (Al-Baqarah: 203).
Maka hendaklah bermalam (mabit) di Mina pd malam ke 11 dan 12; bermalam pd dua malam itu boleh dgn cara berdiam di sana dlm ukuran malam yg lebih banyak.
Apabila matahari telah tergelincir pd hari ke 11 (tanggal 11) maka melontar tiga Jumrah, dimulai dari Jumrah Shughra, yaitu Jumrah yg pertama yg terletak paling timur dibanding jumrah yg lain. Melontar dilakukan sebanyak 7 kali dgn 7 kerikil secara berurutan, pd tiap lontaran (lemparan) dibarengi dgn takbir (membaca: Allhu akbar), setelah itu beralih sedikit dari keramaian dan menghadap Kiblat dgn mengangkat kedua tangan seraya berdoa (memohon) kepada Allah Subhannahu wa Ta\'ala secukupnya. Kemudian maju menuju Jumrah Wustha lalu melontarnya sebanyak 7 kali secara berurutan, pd tiap lontaran dibarengi dgn takbir, kemudian maju sedikit keluar dari keramaian manusia dan berdoa secukupnya sambil mengangkat kedua tangan dgn menghadap Kiblat; sesudah itu menuju Jumrah Aqabah dan melontarnya dgn 7 kerikil secara berurutan dan tiap lontaran dibarengi dgn takbir. Di sini tak perlu berdoa karena mencontoh Rasulullah .Panduan Cara Menunaikan Ibadah Haji
Pada hari ke-12 (tanggal 12) melontar tiga Jumrah sebagaimana hari sebelumnya, demikian pula pd hari ke-13 jika menangguhkan keberangkatannya hingga hari ke-13.
Tidak boleh bagi siapa saja melontar pd hari ke-11, 12 dan 13 sebelum zawal (sebelum matahari tergelincir), sebab Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tak pernah melontar kecuali sesudah zawal, dan beliau bersabda, Mencontohlah kamu kepadaku dlm cara melaksanakan manasik haji.
Para shahabat Nabi pun selalu menunggu waktu zawal untk melontar, maka apabila waktu zawal tiba mereka pun melontar. Kalau sekiranya melontar sebelum zawal itu boleh, niscaya Nabi n telah menjelaskannya kepada umatnya, baik itu melalui praktek beliau sendiri, ucapannya ataupun melalui iqrar-nya, dan niscaya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tak memilih waktu siang hari, yaitu waktu terik panas matahari untk melontar; apalagi di pagi hari itu lebih memudahkan jama’ah.
Dengan demikian jelaslah bahwa melontar di pagi hari itu tak boleh, sebab sekiranya melontar di pagi hari itu termasuk ajaran Allah Ta\'ala, niscaya Dia ajarkan kepada hamba-hamba-Nya, karena waktu pagi itu lebih mudah, di mana kita ketahui bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta\'ala biasanya menetapkan hukum yg termudah bagi hamba-hamba-Nya.
Tapi demikian, boleh bagi seseorang yg tak mampu menahan desakan orang banyak / berangkat menuju Jamarat (pelontaran) pd siang hari untk menunda waktu melontarnya hingga di malam hari, karena malam hari masih termasuk waktu melontar; dan tak ada dalil yg menegaskan bahwa melontar pd malam hari itu tak sah. Dalil yg ada adlh bahwasanya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah menetapkan kapan waktu melontar boleh dimulai dan beliau tak menetapkan batas waktu melontar berakhir, sedang hukum yg menjadi pegangan adlh bahwa perkara yg mempunyai makna mutlaq harus diberlakukan kemutlakannya, kecuali apabila ada dalil lain yg membatasinya dgn suatu sebab / waktu.
Hendaknya tiap jama’ah haji selalu bersikap hati-hati dan tak menganggap remeh masalah melontar Jamarat; karena banyak jama’ah yg meremehkannya sampai rela mewakilkannya kepada orang lain untk melontarkan bagi dirinya, padahal dia masih mampu melontar sendiri! Yang demikian itu tak boleh dan tak sah, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman di dlm Kitab Suci-Nya:
Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196).
Melontar Jumrah itu termasuk amalan haji, maka tak boleh diabaikan; dan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pun tak pernah mengizinkan keluarganya yg lemah untk mewakilkan kewajiban melontar mereka kepada orang lain, beliau hanya mengizinkan kepada mereka berangkat dari Muzdalifah pd dini hari supaya mereka dpt melontar sendiri sebelum keramaian manusia. Dan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam pun tak mengizinkan para pengembala unta (yang beribadah haji) yg harus meninggalkan Mina karena ternak mereka untk mewakilkan lontaran mereka kepada orang lain. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam hanya mengizinkan mereka agar sehari melontar dan sehari tidak, lalu mereka melontar pd hari ketiga. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya seorang jama’ah haji melontar sendiri dan tak mewakilkannya kepada siapa pun. Ya, kacuali jika dlm keadaan terpaksa, maka boleh diwakilkan kepada orang lain, seperti karena sakit / sudah lanjut usia, tak mampu datang ke tempat pelontaran, / karena hamil (bagi wanita) yg khawatir akan keselamatan diri dan bayi dlm kandungannya, maka dlm kondisi seperti itu melontar boleh diwakilkan.
Kalau sekiranya tak karena ada riwayat dari sebahagian shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yg menyatakan bahwa mereka melontarkan untk anak-anak mereka, niscaya kami katakan, Sesungguhnya orang yg lemah, gugur kewajiban melontarnya, karena melontar adlh kewajiban yg ia tak mampu melakukannya, oleh karena itu, kewajiban itu gugur karena ketidakmampuannya, akan tetapi karena ada riwayat jenis perwakilan melontar bagi anak-anak, maka tak mengapa kalau orang yg tak mampu melontar sendiri disamakan dgn anak-anak kecil.
Yang penting adalah, kita wajib mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, tak meremehkannya, dan berusaha semaksimal mungkin melakukannya dgn diri kita sendiri, karena hal tersebut adlh ibadah, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَرَمْيُ الْجَمَرَاتِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللهِ.
Sesungguhnya thawaf di Baitullah dan di antara Shafa dan Marwa serta melontar Jumarat itu diperintahkan untk menegakkan dzikir kepada Allah. (Dikeluarkan oleh Abu Daud (no. 1888) dlm kitab Al-Manasik, At-Tirmidzi (no. 902) dlm kitab Al-Hajj, Ia mengatakan hasan shahih.)
Apabila haji telah selesai dilakukan, maka seseorang tak boleh meninggalkan kota Mekkah menuju negerinya sebelum melakukan thawaf wada’ (thawaf perpisahan). Ibnu Abbar Radhiallaahu anhu berkata, Pada suatu saat orang-orang pd pulang dari segala arah, maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, Jangan ada seorang pun yg pulang sebelum akhir urusannya adlh di Baitullah (thawaf).( kitab Al-Hajj )
Kecuali kalau wanita haid / nifas dan telah melakukan thawaf ifadhah, maka thawaf wada’ menjadi gugur darinya. Di dlm hadits Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu ia menuturkan, Para jama’ah haji diperintahkan agar akhir urusan mereka adlh di Baitullah (thawaf), hanya saja thawaf tersebut digugurkan bagi wanita haid( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1755) dlm kitab Al-Hajj, Muslim (no. 380) dlm kitab Al-Hajj.).
Dan juga, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tatkala dikatakan kepadanya, bahwa Shafiyah (istri beliau) telah melakukan thawaf ifadhah, beliau bersabda, Jika begitu hendaklah ia berangkat.( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1757, 1758, 1759) dlm kitab Al-Hajj, Muslim (no. 382-387) dlm kitab Al-Hajj.) Pada saat itu Shafiyah dlm keadaan haid.
Thawaf wada’ tersebut harus (wajib) menjadi sesuatu yg paling akhir (dari keberadaan kita di Mekkah). Dan dengannya kita dpt mengetahui bahwa apa yg dilakukan oleh sebagian jama’ah di saat mereka turun ke Mekkah, di sana mereka melakukan thawaf wada’, lalu kembali ke Mina, dan di Mina mereka melontar lalu berangkat menuju negeri mereka dari Mina adlh salah besar, thawaf wada’ yg mereka lakukan tak mencukupinya, karena mereka tak menjadikan thawaf sebagai amalan terakhir yg mereka lakukan, melainkan melontar jumrah yg mereka jadikan sebagai amalan akhir haji mereka.

other source : http://solopos.com, http://wawanislam.blogspot.com, http://detik.com

0 Response to "[Kisah Islam] Panduan Cara Menunaikan Ibadah Haji"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *